JAKARTA - Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih tinggi dari rata-rata kawasan ASEAN. Namun, untuk mencapai ekonomi 8% seperti target Presiden Prabowo Subianto masih sulit dicapai dalam waktu dekat.
"Jadi terkait angka pertumbuhan 8%, saya sudah membahasnya panjang lebar. Saya berpikir bahwa angka tersebut adalah target yang menantang. Dalam beberapa hal, saya rasa idenya adalah untuk bergerak ke arah tersebut, daripada secara spesifik mengejar angka itu," ungkap Chief India and Indonesia Economist, HSBC Global Research, Pranjul Bhandari dalam Media Briefing HSBC di Jakarta, Kamis (9/1/2025).
Menurut Pranjul, dengan kebijakan fiskal dan stimulus moneter saja tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ke tingkat tersebut. Reformasi struktural akan sangat diperlukan, terutama untuk meningkatkan rantai nilai manufaktur dan memperluas hilirisasi.
"Indonesia telah berhasil beralih dari hanya menjadi eksportir bahan mentah menjadi menambah nilai dengan memproduksi produk logam dan menjualnya. Namun, Indonesia sekarang perlu naik ke tingkat rantai nilai yang lebih tinggi, seperti baterai kendaraan listrik (EV), kendaraan listrik (EV), dan juga berbagai barang konsumen, seperti alas kaki, furniture, mainan, dan produk lainnya yang sebenarnya sudah dijual ke AS dalam skala besar," jelas Pranjul.
Namun, dengan keadaan yang ada, menurut Pranjul butuh waktu untuk meningkatkan itu semua. Sehingga diversifikasi dan peningkatan rantai nilai manufaktur akan menjadi hal yang sangat penting jika Indonesia ingin mendekati target pertumbuhan 8%.
Faktanya, Chief Investment Officer, Southeast Asia and ASEAN for Private Banking and Wealth Management HSBC, James Cheo memperkirakan pertumbuhan ekonomi di 6 besar negara ASEAN (ASEAN-6) akan mencapai 4,8% di tahun 2025.
Menurut James, angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN, yaitu 4,4%.
"Pertumbuhan ini didorong oleh konsumsi dan investasi dalam negeri yang kuat. Sekitar 60% dari total ekonomi ASEAN berasal dari konsumsi masyarakat," kata James.
HSBC Global Private Banking juga menilai hal tersebut diharapkan dapat mengurangi risiko penurunan ekspor di tengah ketidakpastian perdagangan global pada tahun 2025.
Apalagi, di ASEAN, negara-negara yang berhubungan kuat dengan ekspor teknologi terkait kecerdasan buatan (AI), akan menikmati siklus pertumbuhan teknologi global yang sedang berlangsung.
"Ekonomi ASEAN tetap menjadi penerima manfaat dan pergeseran arus perdagangan dan reorientasi rantai pasokan yang didorong oleh pembatasan perdagangan AS dan tarif pada Tiongkok," ujarnya.
Adapun HSBC Global Private Banking mengungkapkan pertumbuhan ekonomi di Asia, di luar Jepang, diperkirakan tetap tangguh pada kisaran 4,4% pada tahun 2025, di atas rata-rata pertumbuhan global sebesar 2,7%, berkat pertumbuhan domestik yang kuat di India dan negara-negara ASEAN, serta meluasnya stimulus kebijakan China.
Untuk ekonomi Indonesia di tahun 2025 diprediksi akan diuntungkan dari kombinasi antara pembangunan infrastruktur, diversifikasi ekspor, dan konsumsi domestik yang kuat. Kebijakan pemerintah yang berkelanjutan menjadi faktor kunci.
Selain itu, inflasi diperkirakan akan tetap di bawah level tengah target Bank Indonesia sebesar 2,5%, dan kebijakan fiskal yang cermat akan memberikan fondasi yang stabil untuk pertumbuhan.
Defisit fiskal diproyeksikan tetap di bawah 3% dari PDB, yang memungkinkan pemerintah untuk mempertahankan belanja infrastruktur dan kesejahteraan sosial.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)