Menurut Riefky, pengaruh rendahnya inflasi juga berasal dari pembatalan tarif PPN 12%, yang diumumkan hanya sehari sebelum implementasinya, mengganggu operasional bisnis dan memaksa penyesuaian harga yang sebelumnya telah diperbarui.
"Kendati kebijakan ini dibatalkan, kebijakan pajak lain yang bertujuan mengurangi beban fiskal mungkin tetap muncul, seperti penurunan ambang batas pendapatan untuk pajak penghasilan final UMKM yang memengaruhi penetapan harga produk," ujarnya.
Di sisi lain, pelemahan Rupiah menghadirkan risiko inflasi impor, mencerminkan kekhawatiran atas potensi kebijakan perdagangan di bawah Presiden AS yang baru terpilih, Presiden Trump, termasuk pemberlakuan tarif impor. Namun, penurunan daya beli rumah tangga, dapat menekan inflasi lebih rendah karena melemahnya permintaan menekan tekanan harga.
Pertimbangan lainnya adalah antara pertengahan Desember dan pertengahan Januari, Indonesia mengalami arus modal keluar sebesar USD0,75 miliar. Hal ini berkontribusi pada depresiasi rupiah, yang mencapai Rp16.195 per dolar AS pada 9 Januari 2025.
"Selama periode ini, Rupiah melanjutkan depresiasi, mencapai Rp16.195 per USD pada 9 Januari 2025, turun 2,11% dari level bulan sebelumnya sebesar Rp15.860 per USD," ungkap Riefky.