Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Modus Korupsi Petinggi Pertamina Rugikan Negara Rp193,7 Triliun, Oplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Taufik Fajar , Jurnalis-Selasa, 25 Februari 2025 |19:30 WIB
Modus Korupsi Petinggi Pertamina Rugikan Negara Rp193,7 Triliun, Oplos BBM Pertalite Jadi Pertamax
Petinggi Pertamina Tersangka Korupsi (Foto: Antara)
A
A
A

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan dari kuasa hukum para tersangka. Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menyatakan akan menghormati proses hukum yang tengah berjalan.

"Pertamina menghormati Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan," kata VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangannya, Selasa (25/02).

2. Siapa saja tersangkanya?

Kejagung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Mereka adalah:

1.⁠ RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga;

2.⁠ ⁠SDS, Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional;

3.⁠ ⁠YF, Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping;

4.⁠ ⁠AP, VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International;

5.⁠ ⁠MKAR, Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa;

6.⁠ ⁠DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim;

7.⁠ ⁠GRJ, Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.

Kapuspen Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, kata Harli, seluruh tersangka langsung ditahan. "Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut," ujar Harli.

3. Kongkalikong agar minyak bumi impor

Dirdik Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023.

Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor.

Hal itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM No. 42 Tahun 20218 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Namun, kata Qohar, aturan itu diduga tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International.

Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.

“Tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," kata Qohar.

Untuk memperkuat kongkalikong itu, tambah Qohar, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga diduga sengaja ditolak oleh para terduga pelaku.

Alibinya, sebut Qohar, produksi KKKS itu diklaim tidak memenuhi nilai ekonomis, 

"Padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range harga HPS harga perkiraan sendiri," tuturnya.

Bukan hanya itu, terduga pelaku juga berdalih bahwa produksi minyak mentah dari KKKS dinilai tidak sesuai spesifikasi.

"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelas Qohar.

Kongkalikong harga impor hingga pengoplosan RON 90

Setelah rekayasa itu dilakukan, ujar Qohar, PT Kilang Pertamina Internasional disebut mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dan, tambahnya, impor ini menciptakan perbedaan harga pembelian minyak bumi yang sangat signifikan jika dibandingkan harga dari dalam negeri.

Selisih harga ini kemudian diduga dimanfaatkan para tersangka untuk melakukan tindak pidana korupsi.

"Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan," kata Qohar.

Qohar mengatakan tersangka SDS, AP, RS, dan YF selaku penyelenggara negara diduga telah mengatur kesepakatan harga dan penentuan pemenang dengan broker, yaitu tersangka MK, DW, dan GRJ.

"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," ujar Qohar.
Setelah itu, dugaan kecurangan juga terjadi dalam jenis minyak bumi yang impor. 

Qohar mengatakan, tersangka RS diduga melakukan pembelian RON 90 (setara Pertalite) yang kemudian diolah kembali di depo sehingga menjadi RON 92 (Pertamax).

Tidak berhenti, kata Qahar, tersangka YF dari Pertamina Internasional Shipping juga menaikan (mark up) kontrak pengiriman minyak impor, yang mengakibatkan negara harus membayar biaya sebesar 13-15%.

"Sehingga tersangka MKAR [dari PT Navigator Khatulistiwa] mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut," ungkap Qohar.

 

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement