Semua analis pasti setuju ISHG yang terungkal ini tidak lain karena faktor politik dimana pasar tidak sreg dan menolak politik ekonomi dan kebijakan yang dilakukan selama ini. Penolakan itu terliah dari modal yang hengkang dari Indonesia atau memilih intrumen lain yang lebih aman dari pengaruh politik. Jangan anggap remeh politik TNI yang diolah dan dimasak oleh segelintir orang di dalam kekuasaan tidak ada hubungan dengan masalah ekonomi.
Demokrasi yang dibangun kembali pada masa reformasi setelah jatuh selama 30 tahun dianggap bisa tegelincir dan menjadi trigger kejatuhan demokrasi ke dalam etatisme, militerisma, dwi fungsi dan hal-hal lain yang merusak masa depan demokrasi. Ekosistem demokrasi sudah rusak semasa Jokowi dengan harapan bernas lagi dengan kemimpinan baru tidak buisa dilihat kembali masa depannya. Faktor ketidakstabilan ini menjadi trigger pasar menolak dan modal pergi ke tempat lain.
Kondisi IHSG sebagai alarm dan termometer yang mengukur kesehatan ekonomi, memperlihatkan kondisi krisis dengan indeks yang terjungkal dari tahun 2004 7.163 menjadi 6.146 searang, turun lebih dari 11% dalam tiga bulan. Apa yang menyebabkannya? Selain fakator politik sudah jelas di depan mata adalah kebijakan ekonomi. Kebijakan pembentukan Danantara yang gegap gempita dan undang-undang disulap DPR dalam waktu 7 hari adalah prestasi dan rekor terhebat di dunia (mungkin jug akhirat). Ide bagus dan padanannya adalah Temasek dimana saya sebagai ekonom sangat setuju. Namun ide yang baik dikemas dalam kebijakan yang asal-asalan bisa menjadi bumerang.
Kebijakan ekonomi pembentukan danantara mengais reaksi pasar yang frontal. Investor asing kabur membawa Rp 24 triliun, termasuk Rp 3,47 triliun sehari setelah Danantara diresmikan tanggal 24 Februari 2025. Apakah proses kebijakan kolektif pemerintah, DPR, kabinet seperti ini tidak diperhatikan? Kesalahan ini harus diperbaiki dengan datang ke pasar, bersahabat dengan pasar dan tidak lagi merasa kebijakan yang diluncurkan mendadak lalu akan diterima pasar.
Jadi politik, perilaku pemerintah dan kebijakan jelas sebagai biang kerok dari pasar menolak. Jika dibiarkan bisa menjadi reaksi yang tidak bisa dimaafkan, “vote of no confidence” terhadap pemerintah. Maka dari itu harus diperbaiki, ramah terhadap pasar, datang kepada pasar dn membuat kebijakan yang propasar.
Sudah sangat jelas bahwa panik itu adalah reaksi terhadap kebijakan dan perilaku pengambil keputusan yang melenceng dan tidak dikehendaki oleh pasar. Faktor politik dan atau kebijakan pemerintah dan atau perilakunya adalah faktor utama dalam hal ini.