Tak hanya memengaruhi pemain besar, pelaku usaha skala kecil dan menengah juga dikhawatirkan menjadi korban dari ketidaksetaraan persaingan ini. Menurut Saleh, segmen industri kecil sangat mengandalkan identitas merek dan kemasan sebagai kekuatan diferensiasi.
Tanpa pembeda tersebut, produk legal akan semakin terhimpit di tengah gempuran produk ilegal yang tidak melalui proses pengawasan dan beredar dengan harga jauh di bawah pasar.
“Situasi ini berpotensi mematikan keberlangsungan bisnis mereka, karena mereka tidak memiliki kapasitas modal seperti pelaku besar untuk bertahan. Akibatnya, pasar bisa semakin terkonsentrasi pada pelaku ilegal yang tidak memberikan kontribusi bagi perekonomian negara,” tegas Saleh.
Kondisi ini juga diperkuat oleh temuan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang mencatat, Indonesia berisiko kehilangan pendapatan negara lebih dari Rp300 triliun jika kebijakan kemasan polos tetap diterapkan. Tak hanya itu, potensi kebocoran fiskal akibat lemahnya pengawasan juga diperkirakan akan menggerus penerimaan perpajakan hingga Rp106,6 triliun.
Saleh pun menekankan pentingnya proses penyusunan kebijakan dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi bermakna dari seluruh pemangku kepentingan, bukan sebatas formalitas belaka.
“Semoga ini bisa menjadi bahan evaluasi bersama agar ke depan kebijakan disusun lebih terbuka dan mempertimbangkan seluruh aspek secara proporsional,” harapnya.
(Taufik Fajar)