JAKARTA - Apa arti pekerja outsourcing yang akan dihapus Prabowo? Presiden Prabowo Subianto berencana menghapus sistem outsourcing atau pekerja alih daya di Indonesia.
Langkah ini diumumkan pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, sebagai bagian dari komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan buruh di Tanah Air.
Pekerja outsourcing adalah individu yang dipekerjakan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja untuk bekerja di perusahaan lain. Mereka tidak terdaftar sebagai karyawan tetap di perusahaan tempat mereka bekerja, melainkan sebagai tenaga kerja kontrak melalui pihak ketiga.
Prabowo menilai bahwa sistem outsourcing sering kali merugikan pekerja, karena mereka tidak mendapatkan hak-hak yang setara dengan karyawan tetap, seperti jaminan sosial, cuti, dan tunjangan lainnya. Selain itu, pekerja outsourcing seringkali tidak memiliki kepastian status pekerjaan, yang membuat mereka rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.
Dalam pidatonya pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, Prabowo menegaskan bahwa penghapusan outsourcing akan dilakukan secara bertahap dan realistis, dengan tetap mempertimbangkan kepentingan investasi dan iklim usaha di Indonesia. Ia juga berencana mengumpulkan 150 kelompok buruh dan 150 pimpinan perusahaan untuk duduk bersama dan mencari solusi terbaik terkait hal ini.
Untuk merealisasikan rencana ini, Prabowo membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang akan melibatkan tokoh-tokoh buruh dari seluruh Indonesia. Dewan ini akan bertugas memberikan nasihat kepada Presiden terkait perbaikan undang-undang dan regulasi yang dinilai tidak berpihak kepada pekerja.
Selain itu, pemerintah juga berencana membahas lebih lanjut mengenai penghapusan outsourcing dengan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk kelompok buruh dan pengusaha, untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Rencana penghapusan sistem outsourcing oleh Presiden Prabowo Subianto merupakan langkah signifikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan buruh di Indonesia. Namun, implementasi kebijakan ini memerlukan proses yang matang dan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan transisi yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)