Menurut Freesca, lebih dari sekadar keberhasilan teknis, panen di Papua Selatan juga menandai transformasi sosial yang fundamental. Masyarakat yang sebelumnya menggantungkan hidup pada pola berburu kini mulai dikenalkan pada pertanian. Bukan dengan pemaksaan, tetapi melalui pendekatan edukatif yang pelan namun menyentuh akar.
"Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal investasi fisik, melainkan juga pembentukan agricultural citizenship, warga negara yang sadar akan peran mereka dalam sistem pangan," ujar Freesca menerangkan.
Ia menilai keberhasilan panen perdana di Wanam, menandai awal dari reorientasi geopolitik pangan nasional ke wilayah timur Indonesia. Selama ini, narasi ketahanan pangan terpusat di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera, sementara kawasan timur hanya dianggap sebagai penyangga.
"Keberhasilan ini menunjukkan bahwa Papua tidak hanya sebagai objek pembangunan, tetapi mampu menjadi subjek kunci dalam arsitektur baru ketahanan pangan berbasis kawasan," jelasnya.
Freesca mencermati keberhasilan panen tanpa bahan kimia sintetis di Papua Selatan memberi pelajaran penting, yaitu modernisasi pertanian tidak selalu identik dengan mekanisasi. Justru, menurut dia, konteks lokal dan kearifan ekologis dapat menghasilkan model pertanian berkelanjutan yang lebih resilien terhadap krisis iklim.
"Ini membuka peluang bagi pengembangan low-input agriculture berbasis komunitas, yang lebih inklusif dan adaptif terhadap kondisi lokal," ujarnya.
(Taufik Fajar)