Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Siapa Lucy Liu? Bermula dari Frustrasi di Kedai Kopi, Jadi Bos Fintech Berharta Rp11 Triliun

Zen Teguh , Jurnalis-Rabu, 11 Juni 2025 |13:32 WIB
Siapa Lucy Liu? Bermula dari Frustrasi di Kedai Kopi, Jadi Bos Fintech Berharta Rp11 Triliun
Co-founder dan Presiden Airwallex Lucy Liu menjadi perempuan terkaya Selandia Baru pada 2025. (Foto: Forbes).
A
A
A

AUCKLAND - Lucy Liu ditahbiskan sebagai perempuan paling tajir Selandia Baru pada 2025. Co-founder dan Presiden Airwallex ini memiliki harta kekayaan USD700 juta atau setara Rp11,3 triliun menurut laporan terbaru The National Business Review (NBR).

Lucy menggeser posisi Anna Mowbray, salah satu pendiri perusahaan mainan Zuru, yang memiliki harta USD500 juta atau sepadan Rp8 triliun. Dalam jajaran miliarder Negeri Kiwi tersebut, Lucy berada di peringkat 30, sementara Anna di posisi 47.

Laporan peringkat kekayaan yang dipublikasikan Senin (9/6/2025) ini menempatkan Nick dan Mat Mowbray, bos Zuru di urutan teratas. Mereka menggusur bos Rank Group Graeme Richard Hart yang selama beberapa tahun tak tergoyahkan sebagai konglomerat paling kaya.

Ide dari Kedai Kopi

Beberapa tahun lalu, Lucy Liu sedang berada di sebuah kafe kopi di Melbourne, Australia, setelah berhenti dari pekerjaannya di China. Tapi dari situ justru lahir ide untuk mendirikan Airwallex, perusahaan teknologi finansial (financial technology/fintech) dengan nilai valuasi triliunan rupiah. Airwallex bahkan disebut sebagai salah satu perusahaan dengan pertumbungan tercepat di Asia-Pasifik.

Empat sekawan pendiri Airwallex. (Foto: The Australian).

“Dalam kurun waktu lebih dari setahun, Airwallex, perusahaan fintech unicorn telah mengumpulkan total USD400 juta dari sejumlah investor papan atas, termasuk DST Global, Sequoia Capital China, dan Tencent,” tulis John Kang, editor majalah Forbes, dikutip Rabu (11/6/2025).

Lahir di China utara dan dibesarkan di Shanghai, Lucy Liu- yang memiliki nama sama dengan bintang Hollywood- pindah ke Auckland pada usia 12 tahun. Dia kemudian kuliah di St Cuthbert's College, setelah itu melanjutkan belajar keuangan di University of Melbourne.

Karier profesionalnya dimulai sebagai konsultan investasi di China International Capital Corporation (CICC), mengikuti jejak ayahnya yang berkecimpung dalam dunia saham dan investasi. Ibunya, seorang guru taman kanak-kanak.

 

Lucy pernah bekerja di beberapa perusahaan. Terakhir menjabat direktur pada Hong Stone Investment Development Limited di Hong Kong, sebelum kemudian memutuskan jeda dari pekerjaan tersebut demi menikmati waktu untuk menikmati jalan-jalan.

Langkahnya singgah di Tukk & Co, sebuah kedai kopi di Melbourne milik teman kuliahnya di Universitas Melbourne, Jack Zhang, Xijiang Dai dan Max Li. Zhang merupakan insinyur perangkat lunak di Australia dan Selandia Baru, sementara Dai pemilik gelar master bidang rekayasa perangkat lunak. Adapun Li seorang arsitek.

Pada 2015 empat sekawan ini mendirikan Airwallex, perusahaan fintech yang memfokuskan pada pembayaran lintas negara dengan biaya transaksi terjangkau. Mengapa mereka tebersit untuk membangun bisnis?

Itu semua berawal dari rasa frustrasi mereka mengenai pembelian barang sebagai salah satu kebutuhan kedai kopi Tukk & Co. Saat itu mereka membeli cangkir dan label kopi dari pemasok di China untuk menghemat uang. Namun bukannya irit, pembayaran lintas negara ternyata sangat mahal.

Airwallex dapat pendanaan baru pdaa 2025. (Foto: Airwallex).

Atas dasar itu mereka mencoba membuat solusi. Lahirlah gagasan untuk membuat perusahaan pembayaran lintas negara dengan ongkos lebih transparan dan terjangkau sehingga dinilai menguntungkan bagi pengguna.

“Ketika saya mengunjungi Max dan Jack, mereka langsung mengajukan ide ini kepada saya. Jack sedang mencari investasi dan saya mengenal lebih banyak investor daripada dia saat itu. Saya pikir itu adalah sesuatu yang layak untuk saya lakukan juga,” kata Lucy kepada Australia Financial Review.

Empat sekawan ini akhirnya mendirikan Airwallex. Zhang bertindak sebagai CEO, Dai sebagai kepala bagian teknologi, dan Li sebagai kepala bagian desain. Liu yang awalnya co-founder kemudian dalam perjalanannya menjadi presiden.

 

Membangun Kekayaan

Airwallex menjelma sebagai salah satu entitas bisnis dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Laporan Stuff mengutip NBR, perusahaan fintech ini baru-baru ini mencapai pendapatan tahunan USD720 juta.

Kepemilikan pasti Lucy dalam bisnis global itu tidak dipublikasikan. Anak tunggal itu juga tidak pernah memberikan rinciannya. Tetapi tulisan Australia Financial Review yang diterbitkan pada Agustus 2024 memerkirakan kepemilikannya di Airwallex mencapai 6-8 persen. Itu memberinya kekayaan bersih antara USD618 juta sampai USD865 juta.

Pada awal berdirinya perusahaan, Liu memiliki peran mendapatkan investor awal, membangun operasi, dan mendukung rekan pendiri perusahaan teknologinya saat mereka mengembangkan produk. Saat ini, dia Presiden Airwallex, yang memimpin strategi perusahaan dan inisiatif tanggung-jawab sosial. Lucy Liu mengaku belajar banyak pada ayahnya.

“Saya belajar tentang ketekunan dan integritas darinya,” katanya kepada NBR. “Ada pengorbanan dalam membangun bisnis. Saya melihatnya sekarang sebagai orangtua sendiri.”

Meskipun sekarang tinggal di Singapura, Lucy tetap menjadi warga negara Selandia Baru dan mengatakan bahwa dia masih mengunjungi Auckland jika memungkinkan.

(Zen Teguh)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement