Agung menjelaskan kondisi fluktuatif harga tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, namun disebabkan juga oleh faktor nonteknis, seperti psikologi pasar dan praktik niaga yang tidak efisien.
Terdapat persoalan struktural dalam rantai pasok ayam hidup yang panjang dan didominasi oleh broker dengan margin perdagangan lebih dari 67 persen.
Kepala Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri, Brigjen Pol Helfi Assegaf menyatakan sebelumnya telah dilakukan pemantauan di pusat penjualan livebird perusahaan integrator di wilayah Banten dan Jawa Barat. Hasil temuan di lapangan menunjukkan adanya indikasi manipulatif di pasar, termasuk dugaan persengkokolan antara oknum peternak dan broker yang sengaja membentuk harga di bawah HPP.
“Ini adalah anomali pasar yang tidak bisa dibiarkan. Harga jual livebird harus mencerminkan biaya produksi yang adil,” ungkap Helfi.
Dia memastikan Satgas Pangan Polri akan mengawal ketat implementasi kesepakatan harga livebird dan tidak segan menindak pelanggaran yang mengandung unsur pidana.
Pelaku usaha yang terbukti mengarahkan pembentukan harga rendah dan cenderung merugikan pihak lain dapat dikategorikan sebagai perilaku monopoli sehingga akan ditindak tegas secara hukum.
“Jika di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran atau perubahan harga secara sepihak yang mengandung unsur pidana, maka akan diambil langkah hukum, baik dalam bentuk sanksi pidana maupun administratif,” tuturnya.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan, Badan Pangan Nasional, I Gusti Ketut Astawa, menekankan pentingnya keseriusan pelaku usaha dalam menjaga kestabilan harga livebird.
Dia menyoroti langkah stabilitas pasokan dan harga livebird tersebut dapat selaras dengan pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
"Dengan begitu, penyerapannya bisa lebih optimal, distribusi menjadi lebih merata, dan kesejahteraan peternak dapat meningkat secara berkelanjutan. Ini adalah momentum penting untuk menyinergikan kebijakan pangan dengan kepentingan peternak rakyat," terangnya.