Untuk itu, Josua menekankan bahwa SLIK bukan satu-satunya acuan penilaian. Bank juga menerapkan prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition) untuk mengevaluasi kelayakan kredit.
Ia menjelaskan, capacity atau kemampuan membayar menjadi perhatian utama, dengan rasio cicilan terhadap pendapatan biasanya dibatasi maksimal 30–40%. Stabilitas penghasilan, terutama dari pekerjaan formal, akan meningkatkan peluang persetujuan.
Dalam aspek capital, besarnya down payment memengaruhi risiko. Makin besar DP, makin kecil risiko bank. “Meskipun ada pelonggaran DP 0%, bank tetap memperhatikan kesiapan dana pribadi debitur,” tuturnya.
Sementara dari sisi collateral, roperty yang dijadikan jaminan harus memenuhi syarat legalitas, nilai pasar, dan lokasi strategis. Rumah yang tidak layak atau berada di lokasi kurang strategis bisa menyebabkan aplikasi ditolak.
Faktor lain yang turut menjadi penilaian adalah status pekerjaan, masa kerja, dan usia debitur. Debitur berusia tua atau mendekati usia pensiun berpotensi mengalami penolakan karena tenor yang terbatas dan kewajiban asuransi jiwa.
“Keputusan akhir persetujuan KPR lebih ditentukan oleh profil risiko secara menyeluruh sesuai prinsip kehati-hatian perbankan,” ucapnya.
Sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdilah menuding data SLIK menjadi penghambat banyak calon debitur gagal mendapatkan persetujuan KPR. Tudingan tersebut ternyata tidak sesuai dengan fakta proses penentuan persetujuan KPR yang berlangsung di perbankan.
(Dani Jumadil Akhir)