Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pengakuan Pedagang soal 212 Merek Beras Diduga Oplosan

Dwinarto , Jurnalis-Senin, 14 Juli 2025 |21:27 WIB
Pengakuan Pedagang soal 212 Merek Beras Diduga Oplosan
Pengakuan Pedagang soal 212 Merek Beras Diduga Oplosan (Foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Pedagang beras buka-bukaan soal kehebohan dugaan 212 merek beras premium dioplos. Kekhawatiran muncul di kalangan konsumen, terutama soal kualitas beras yang dijual dengan label premium namun tidak sesuai harapan.

Namun, di lapangan, para pedagang beras memiliki pandangan berbeda. Di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, aktivitas perdagangan masih berlangsung normal meski isu tersebut sempat membuat resah.

Haryanto, salah satu pedagang beras di pasar tersebut, menyatakan bahwa istilah oplosan kurang tepat menggambarkan kondisi sebenarnya. Menurutnya, yang banyak terjadi saat ini adalah penurunan mutu beras, bukan pengoplosan dalam arti mencampur beras subsidi pemerintah untuk dijual ulang sebagai beras premium.

“Yang terjadi bukan oplosan, tapi penurunan mutu karena harga gabah mahal,” tegas Haryanto kepada Okezone, Jakarta, Senin (14/7/2025).

Dia menjelaskan, penurunan mutu dilakukan produsen untuk menyesuaikan harga jual dengan biaya produksi yang melonjak. Contohnya, kadar patah (broken) pada beras premium yang seharusnya di bawah 5 persen, kini bisa mencapai 10 hingga 15 persen.

Kenaikan harga gabah menjadi penyebab utama. Jika sebelumnya harga gabah berada di kisaran Rp5.000–Rp6.000 per kilogram, kini telah melonjak ke atas Rp7.000 per kilogram. Kenaikan ini terjadi setelah pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) baru sebesar Rp6.500 per kilogram.

Kondisi ini berimbas langsung pada harga beras di pasaran. Harga beras medium saat ini mencapai Rp13.000 per kilogram, meskipun Harga Eceran Tertinggi (HET) hanya Rp12.500. Sementara itu, beras premium dijual di kisaran Rp14.500 hingga Rp15.100 per kilogram untuk kemasan 50 kilogram, bahkan bisa lebih tinggi untuk kemasan eceran.

 



Secara fisik, perbedaan antara beras medium dan premium cukup terlihat. Beras medium cenderung kusam, tidak terlalu licin, dan memiliki kadar patah lebih tinggi. Sementara beras premium terlihat lebih putih, melalui proses poles dua hingga tiga kali, serta kadar air yang rendah agar bisa disimpan lebih lama.

Haryanto menilai, kabar tentang pengoplosan dapat menurunkan kepercayaan konsumen.

“Kalau masyarakat dengar kata ‘oplosan’, pasti pikirannya negatif. Padahal kenyataannya tidak begitu,” ujarnya.

Dia berharap pemerintah menyampaikan penjelasan yang lebih menyeluruh. Menurutnya, jika harga gabah dinaikkan untuk menyejahterakan petani, maka HET pun seharusnya turut disesuaikan agar pedagang dan konsumen tidak terlalu terbebani.

“Kalau HET tidak ikut naik, pedagang bisa terjepit margin,” pungkasnya.

Sebelumnya, sebanyak 212 merek beras yang terdiri dari beras jenis premium dan medium ditemukan beredar di pasaran dengan tidak mematuhi standar mutu dan juga takaran.

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, praktik curang tersebut terjadi di sejumlah wilayah yang melibatkan sejumlah perusahaan, di mana beras bermerek dijual dengan harga premium, namun isinya dicampur beras medium atau tidak sesuai standar mutu beras premium.

“Sangat kami sayangkan, sejumlah perusahaan besar justru terindikasi tidak mematuhi standar mutu yang telah ditetapkan," kata Amran dalam keterangan resminya.

"Masyarakat membeli beras premium dengan harapan kualitasnya sesuai standar, tetapi kenyataannya tidak demikian. Kalau diibaratkan, ini seperti membeli emas 24 karat namun yang diterima ternyata hanya emas 18 karat,” tambahnya.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement