JAKARTA - Fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya (rohana) menghantui pusat perbelanjaan atau mal. Masyarakat datang ke pusat perbelanjaan namun tidak melakukan transaksi atau hanya sekedar bertanya.
Menurut Menteri Perdagangan Budi Santoso, hal tersebut sebetulnya umum saja dilakukan ketika masyarakat hendak berbelanja. Biasanya, menurut Mendag, hal itu dilakukan masyarakat untuk melakukan survei harga terlebih dahulu untuk dibandingkan dengan toko lain.
"Kan sebelumnya juga sudah terjadi (fenomena rojali). Namanya orang orang mau belanja kan biasa di cek barangnya dulu, ingin lihat barangnya bagus tidak, harganya seperti apa, jangan sampai nanti dapat yang palsu, kan gitu," ujarnya saat ditemui di Jakarta Timur, Rabu (23/7/2025).
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengakui bahwa jumlah pengunjung ke mal memang mengalami peningkatan. Namun tidak untuk peningkatan transaksi yang dilakukan.
Menurutnya, fenomena rojali dan rohana bukanlah hal baru. Skalanya kini menjadi lebih mencolok akibat kondisi daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Ini kerap terjadi bagi kalangan menengah ke bawah.
"Masyarakat tetap datang ke mal karena saat ini pusat perbelanjaan bukan hanya tempat belanja, tapi juga jadi ruang publik untuk hiburan dan kegiatan sosial lainnya,” ungkap Alphonzus.
Menurutnya, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena ini terjadi akibat dari lesunya daya beli masyarakat. Jumlah kunjungan masyarakat ke mall sendiri diakui Alphonsus meningkat sekitar 10% pada tahun 2024 jika dibandingkan tahun sebelumnya.
"Memang ini terjadi lebih karena faktor daya beli, khususnya di kelas menengah bawah. Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan," tambahnya.
Menurut Alphonzus, tren belanja masyarakat juga telah mengalami perubahan yang diakibatkan oleh tekanan ekonomi. Lebih selektif dalam membeli barang, bahkan tidak melakukan pembelian jika memang tidak ada kebutuhan yang mendesak.
"Memang yang berubah itu kan pola belanjanya, mereka jadi lebih selektif berbelanja. Kalau tidak perlu ya tidak. Kalaupun beli, hanya barang atau produk yang harga unitnya itu murah," tambahnya.
Meski demikian, Alphonzus menilai fenomena rojali atau rohana di mall merupakan hal yang umum dilakukan. Mengingat fungsi pusat perbelanjaan seperti mal sendiri tidak hanya sebagai tempat transaksi, namun juga rekreasi atau hiburan.
"Saya kira itu umum atau hal yang wajar, ada interaksi, tawar menawar, dan lain-lain. Juga kan fenomena rojali ini juga kan karena fungsi daripada pusat perbelanjaan, bukan sekedar belanja, tapi ada edukasi, entertainment, hiburan dan sebagainya," kata Alphonsus.
Dia menambahkan jumlah uang yang dimiliki masyarakat menyebabkan mereka menjadi lebih selektif dalam berbelanja. Banyak konsumen hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan dan cenderung memilih produk dengan harga terjangkau.
Alphonzus optimistis situasi ini tidak akan berlangsung selamanya. Dia menyebut kondisi pusat belanja secara nasional masih stabil, bahkan daya beli di luar Pulau Jawa dinilai masih lebih kuat dibandingkan wilayah Jawa.
Sebagai bentuk adaptasi, berbagai pusat perbelanjaan kini menjalankan program promo untuk mendorong konsumsi. Program ini akan terus berlanjut sampai akhir tahun sebagai upaya menghidupkan kembali transaksi di masa low season yang tahun ini berlangsung lebih lama.
(Dani Jumadil Akhir)