4 Fakta Aturan Baru Pajak Emas, Konsumen Akhir Bebas Pajak (Foto: Okezone)
3. Alasan Aturan Pajak Emas Diterbitkan
Kehadiran dua PMK itu bertujuan untuk menghindari risiko saling pungut dalam transaksi emas oleh bullion bank atau bank emas.
Sebelumnya, belum ada pengaturan yang secara spesifik mengenai pemungutan PPh 22 atas kegiatan usaha bulion, sehingga pelaksanaannya mengacu pada PMK 48 Tahun 2023 dan PMK 81 Tahun 2024.
Namun, ketentuan dalam kedua PMK itu menyebabkan kondisi saling pungut, di mana penjual emas memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen atas penjualan kepada bullion bank (PMK 48 Tahun 2023) dan bulion memungut PPh 22 sebesar 1,5 persen atas pembelian pada transaksi yang sama (PMK 81 Tahun 2024).
Selain itu, terdapat ketentuan Surat Keterangan Bebas (SKB) atas impor emas batangan, yang menimbulkan ketidaksetaraan antara pembelian emas batangan di dalam negeri dan melalui impor.
Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan, aturan pajak emas bertujuan menyederhanakan regulasi, menghapus tumpang tindih aturan, dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha emas maupun konsumen.
“Sebelumnya, penjual emas memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen atas penjualan kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Bulion, sementara LJK Bulion sebagai pembeli juga memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5 persen atas pembelian yang sama. Ketentuan baru ini menghilangkan potensi tumpang tindih,” ujar Yoga.
4. Penjelasan Lengkap Aturan Pajak Emas
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 52 Tahun 2025 yang mengatur ketentuan pajak penjualan emas batangan, perhiasan, serta operasional bullion bank. Aturan ini berlaku efektif 1 Agustus 2025.
Adapun PMK ini dirancang untuk menciptakan kepastian hukum, memberikan kemudahan administrasi, dan mendukung perkembangan ekosistem perdagangan emas di Indonesia.
"Peraturan ini disusun untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan administrasi perpajakan atas penjualan emas batangan dan/atau perhiasan, termasuk dalam rangka kegiatan bullion bank," tulis beleid tersebut, dikutip Kamis (31/7/2025).
Salah satu poin penting dalam PMK ini adalah pengecualian pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penjualan emas batangan dan/atau perhiasan kepada pihak-pihak tertentu.
"Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 tidak dilakukan atas penjualan emas batangan dan/atau perhiasan oleh pengusaha emas kepada konsumen akhir, wajib pajak UMKM yang dikenai PPh final, Bank Indonesia, pasar fisik emas digital, serta lembaga jasa keuangan bullion yang berizin OJK," bunyi pasal dalam aturan tersebut.
Menariknya, untuk mendapatkan pengecualian ini, konsumen akhir dan pihak-pihak yang disebutkan tidak perlu lagi mengurus Surat Keterangan Bebas (SKB).
"Pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 bagi konsumen akhir, Bank Indonesia, pasar fisik emas digital, dan lembaga jasa keuangan bullion berizin OJK tidak memerlukan Surat Keterangan Bebas," tulis PMK 52/2025.
Dengan diberlakukannya regulasi ini, pemerintah berharap ekosistem perdagangan emas, termasuk operasional bullion bank, dapat berjalan lebih efisien tanpa mengabaikan kewajiban perpajakan. Aturan ini menjadi salah satu upaya mendorong Indonesia menjadi pusat perdagangan emas yang terintegrasi secara global.
(Dani Jumadil Akhir)