Menurut Sri Mulyani, bagi penjarah, rumah dan barang-barang tersebut hanyalah sekadar target operasi. Para penjarah seperti berpesta, bahkan diwawancara reporter media: dapat barang apa mas?” - dijawab ringan, dengan nada sedikit bangga tanpa rasa bersalah : “ lukisan”.
"Liputan penjarahan dimuat di media sosial dan diviralkan secara sensasional. Menimbulkan histeria intimidatif yang kejam. Hilang hukum, hilang akal sehat dan hilang peradaban dan kepantasan, runtuh rasa perikemanusiaan. Tak peduli rasa luka yang tergores dan harga diri yang dikoyak yang ditinggalkan. Absurd," curhat Sri Mulyani.
Meski kehilangan lukisan pribadinya, Sri Mulyani menganggap hal itu tidak sebanding karena adanya korban jiwa manusia yang melayang dan tak akan tergantikan.
"Affan Kurniawan, Muhammad Akbar Basri, Sarinawati, Syaiful Akbar, Rheza Sendy Pratama, Rusdamdiansyah, Sumari. Menimbulkan duka pedih yang mendalam bagi keluarga. Tragedi kelam Indonesia," ujarnya.
Sri Mulyani menegaskan, dalam kerusuhan tidak pernah ada pemenang. Yang ada adalah hilangnya akal sehat, rusaknya harapan, runtuhnya fondasi berbangsa dan bernegara kita, negara hukum yang berperikemanusiaan, yang adil dan beradab.
"Indonesia adalah rumah kita bersama. Jangan biarkan dan jangan menyerah pada kekuatan yang merusak itu. Jaga dan terus perbaiki Indonesia bersama, tanpa lelah, tanpa amarah, dan tanpa keluh kesah serta tanpa putus asa," ujarnya.
(Dani Jumadil Akhir)