Meski demikian, Defiyan menyoroti tingginya beban usaha PLN, khususnya biaya bahan bakar dan pelumas sebesar Rp94 triliun serta pembelian tenaga listrik sebesar Rp91 triliun. Ia menilai perlu ada intervensi kebijakan dari pemerintah, terutama terkait kontrak Take or Pay (TOP) yang dinilai membebani keuangan PLN.
Selain itu, ia juga mengusulkan agar seluruh transaksi energi primer di dalam negeri diwajibkan menggunakan mata uang Rupiah, guna menghindari kerugian akibat fluktuasi kurs asing. Menurutnya, beban selisih kurs selama ini lebih banyak ditanggung BUMN seperti PLN dan Pertamina, sementara sektor keuangan justru memperoleh keuntungan.
“Stabilitas keuangan PLN harus didukung dengan kebijakan fiskal dan moneter yang konsisten, agar tidak menimbulkan beban tambahan dari luar sistem manajemen perusahaan,” ujar Defiyan.