Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kinerja PLN Semester I-2025, Utang Masih Dalam Batas Wajar

Feby Novalius , Jurnalis-Minggu, 28 September 2025 |12:08 WIB
Kinerja PLN Semester I-2025, Utang Masih Dalam Batas Wajar
Total aset PLN per Juni 2025 tercatat sebesar Rp1.796,64 triliun. (Foto: Okezone.com/PLN)
A
A
A

JAKARTA – PLN mencatatkan pendapatan sebesar Rp281 triliun, meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp262 triliun. Penjualan tenaga listrik menjadi penyumbang utama dengan nilai Rp179,58 triliun, naik 4,53% dibanding semester I 2024.

Berdasarkan laporan keuangan semester I 2025 yang dipublikasikan melalui Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang 2024 PLN juga mencatat pendapatan sebesar Rp545,4 triliun, tumbuh 11,9% secara tahunan dari Rp487,38 triliun pada 2023. Sementara itu, laba usaha semester I 2025 mencapai Rp30 triliun, naik 7,1% dari Rp28 triliun di periode yang sama tahun sebelumnya.

Tak hanya itu, total aset PLN per Juni 2025 tercatat sebesar Rp1.796,64 triliun, meningkat dari Rp1.772,37 triliun pada akhir 2024. Di sisi lain, total utang PLN mencapai Rp734,26 triliun, terdiri dari utang jangka pendek sebesar Rp195,12 triliun dan utang jangka panjang sebesar Rp539,14 triliun.

Rasio utang terhadap aset PLN tercatat masih di bawah 50%, sementara rasio utang terhadap ekuitas sebesar 69,1%, yang masih berada dalam batas wajar untuk perusahaan berskala besar.

Menurut Ekonom Defiyan Cory, kritik terhadap utang perusahaan seperti PLN sebagai beban harian tidak sepenuhnya tepat dan berisiko menimbulkan disinformasi publik.

“Utang korporasi tidak bisa disamakan dengan utang pribadi atau rumah tangga, karena memiliki struktur dan fungsi yang berbeda,” ujar Defiyan, Minggu (28/9/2025).

Menurutnya, utang perusahaan terbagi setidaknya dua, yakni utang jangka pendek untuk modal kerja dan utang jangka panjang untuk investasi. Menilai utang PLN tanpa pendekatan manajemen keuangan yang tepat dapat menyesatkan.

 

Meski demikian, Defiyan menyoroti tingginya beban usaha PLN, khususnya biaya bahan bakar dan pelumas sebesar Rp94 triliun serta pembelian tenaga listrik sebesar Rp91 triliun. Ia menilai perlu ada intervensi kebijakan dari pemerintah, terutama terkait kontrak Take or Pay (TOP) yang dinilai membebani keuangan PLN.

Selain itu, ia juga mengusulkan agar seluruh transaksi energi primer di dalam negeri diwajibkan menggunakan mata uang Rupiah, guna menghindari kerugian akibat fluktuasi kurs asing. Menurutnya, beban selisih kurs selama ini lebih banyak ditanggung BUMN seperti PLN dan Pertamina, sementara sektor keuangan justru memperoleh keuntungan.

“Stabilitas keuangan PLN harus didukung dengan kebijakan fiskal dan moneter yang konsisten, agar tidak menimbulkan beban tambahan dari luar sistem manajemen perusahaan,” ujar Defiyan.

(Feby Novalius)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement