Untuk mengembangkan sistem pembayaran di Indonesia yang saat ini terus diperkuat, tak ada salahnya kita belajar dari pengalaman salah satu negara di benua Afrika, Kenya.
Pembangunan ekonomi di Kenya dapat dikelompokkan sebagai pembangunan ekonomi yang belum memasuki periode take off seperti yang dikemukakan Rostow. Konsekuensinya, perekonomian Kenya belum memiliki sistem pembayaran berbasis perbankan yang menjangkau banyak aktivitas perekonomian. Spread antara lending rate dan deposit rate terus melebar.
Masuknya mobile phone banking mampu memaksa turunnya deposit rate, namun membuat bank komersial yang melakukan ekspansi cabang menghadapi overhead cost yang sangat tinggi.Bukan hanya itu, mobile phone banking yang dilakukan lembaga nonperbankan (M-Pesa) yang merupakan perusahaan telekomunikasi juga meningkatkan risiko stabilitas keuangan di Kenya.
Tidaklah mengherankan jika lending rate perbankan sangat sulit turun. Seyogianya, sektor perbankanlah yang memanfaatkan teknologi mobile phone sehingga overhead cost mereka dapat menjadi lebih murah.
Kenya bahkan belum memasuki periode industrialisasi. Dengan mahalnya lending rate, sangat sulit sektor industri yang mengalami perbaikan dalam revealed comparative advantage untuk meningkatkan daya saingnya.
Dalam kondisi yang seperti ini, peran telekomunikasi dengan mobile phone banking-nya memang meningkat pesat dalam masyarakat Kenya,namun tidak meningkatkan financial inclusion.
Seperti dikatakan Booke dengan dual economy-nya, sistem perekonomian Kenya menghadapi permasalahan interaksi antara sistem ekonomi informal dan pedesaan dengan sistem ekonomi modern.
Dengan kemajuan teknologi khususnya teknologi telekomunikasi, infrastruktur transportasi yang buruk di Kenya semakin membuat excess demand akan produk telekomunikasi. Selain buruknya sektor transportasi, sektor perbankan juga belum berkembang dengan baik.
Sebaran perbankan tidak mencakup seluruh masyarakat Kenya. Belum lagi akses terhadap perbankan tidaklah mudah termasuk adanya saldo minimum bagi penabung.
Akhir-akhir ini bunga bagi penabung juga cenderung terus menurun. Dengan kondisi yang seperti ini, potensi pasar bagi phone banking menjadi sangat besar. Dengan belum berjalannya transformasi perekonomian di mana sektor pertanian menjadi motor utama pembangunan sementara perekonomian bersifat dual, kebutuhan akan bank pembayaran masih dapat dijembatani oleh mobile phone banking.
Saat ini nilai transaksi mobile phone banking terhadap keseluruhan tabungan diperkirakan baru mencapai lima persen. Rasio ini terus meningkat dengan berjalannya waktu. Permasalahannya adalah dalam penentuan harga. Dengan sektor perbankan yang masih belum efisien, mobile phone banking dapat menetapkan harga di atas biaya rata-rata atau super-normal profit pricing.
Dengan kata lain, masih ada ruang bagi M-Pesa untuk menurunkan harga jualnya. Idealnya harga sebesar biaya marjinalnya.Namun jika harga sebesar biaya margi-nalnya, sektor perbankan di-pastikan tidak akan mampu bersaing.
Perkembangan Sektor Telekomunikasi
Keberhasilan mobile phone banking sebetulnya akibat keberhasilan dari liberalisasi sektor telekomunikasi karena sebelumnya pada awal 1990-an Kenya masih kalah jauh dibandingkan Tanzania dalam bisnis mobile phone banking. Liberalisasi di sektor telekomunikasi Kenya menghapus monopoli dari negara,dan mengubahnya menjadi monopoli bagi swasta.
Dengan perubahan status monopoli ini, penetapan harga diperkirakan tidak lagi menghasilkan super-normal profit, tetapi normal profit saja. Kimenyi dan Ndung’u (2009) mengatakan bahwa pergeseran monopoli dari pemerintah kepada sektor swasta di industri telekomunikasi Kenya telah mampu membuat kurva biaya jangka panjang shifting ke arah bawah secara sistematis.
Walaupun kemudian belakangan Kenya mencoba untuk menciptakan pasar yang contestable dengan masuknya Zain dalam industri ini. Dengan demikian, mobile phone banking semakin kompetitif dibandingkan dengan industri perbankan di Kenya yang menghadapi struktur pasar yang bersifat monopolistic competition.
Apa yang terjadi di Kenya sangat berbeda dengan struktur perekonomian Indonesia di mana sektor perbankan memiliki pertumbuhan akan total factor productivity yang positif seperti yang dimiliki Bank BCA. Artinya kurva biaya jangka panjangnya terus mengalami shifting ke arah bawah secara sistematis.
Sementara di sektor telekomunikasi terjadi struktur pasar yang bersifat oligopoli dan kepemilikan pemerintah di sektor telekomunikasi juga masih sangat dominan. Dari sisi stabilitas keuangan, pola ini sangat berbahaya karena ada trade off antara akses terhadap mobile phone banking dan stabilitas keuangan.
Untuk itu, perlu ada koordinasi antara regulator telekomunikasi dan regulator perbankan. Koordinasi seperti ini sangatlah riskan. Keberadaan mobile phone banking yang dimiliki perusahaan telekomunikasi juga akan disertai berbagai masalah lainnya. Kimenyi dan Ndung’u (2009) juga mengingatkan akan potensi risiko dari bisnis ini yaitu:
"fraudulent movement of funds, network hitches, mismatch of cash balances at the pay points, and problems that associate with high velocity of funds making it difficult to stop suspect transactions".
Idealnya koordinasi industri ini di bawah satu institusi saja yang juga bertanggung jawab terhadap stabilitas keuangan, misalnya bank sentral.
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Banking Crisis