JAKARTA – Kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, dikenal sangat semrawut. Maklum di lokasi tersebut terdapat pusat grosir dan perbelanjaan Tanah Abang serta Stasiun Tanah Abang.
Permasalahan yang terjadi tidak pernah tuntas seperti maraknya pedagang kaki lima (PKL), angkutan umum berhenti sembarangan/ngetem, dan parkir liar. Penertiban yang dilakukan petugas selama ini juga dinilai tidak efektif karena setelah ditertibkan mereka kembali lagi beraktivitas sehingga menyebabkan kesemrawutan dan kemacetan. “Jadi solusinya pembangunan jembatan layang/ skybridge yang menghubungkan Stasiun Tanah Abang ke Blok G pusat grosir Tanah Abang,” ujar Wali Kota Jakarta Pusat Mangara Pardede beberapa waktu lalu.
Keberadaan jembatan layang memudahkan para penumpang kereta api yang melewati kawasan Jati Baru. Mereka akan didistribusikan melewati skybridge . “Kalau sudah tidak ada yang lalu lalang di Jati Baru, praktis pedagang tidak kembali berjualan di lokasi,” ucapnya. Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, sebelum jembatan layang dibangun, penindakan dan penertiban di kawasan Tanah Abang harus diintesifkan.
“Harus tegas supaya pelanggar jera,” ucapnya. Penggiringan parkir ke gedung juga harus dilakukan untuk mengurangi macet. Permasalahan lain yang tak kalah pelik adalah soal penataan PKL. Pedagang yang berjualan di dalam gedung mempersempit jarak antartoko sehingga membuat lorong-lorong sulit dilintasi. Suasana pengap dan sesak terasa di sekitar gedung pusat grosir Tanah Abang, di antaranya di Blok A dan Gedung Metro Tanah Abang yang berlokasi di seberangnya. Khusus di Blok A terdapat 12 lantai.
Tiap lantai memiliki tempat perbelanjaan, misalnya lantai satu untuk tekstil, lantai 2 untuk perlengkapan rumah seperti gorden, sprei, dan taplak meja, lantai 3 baju kerja, lantai 4 perlengkapan ibadah, lantai 5 pakaian anak anak, lantai 6 beragam aneka celana jins, lantai 7 batik, lantai 8 aksesoris, lantai 9 pakaian pria, lantai 10 baju muslim, lantai 11 busana wanita, dan lantai 12 sepatu. Dengan bangunan yang tinggi dan mobilitas cukup banyak, kondisi lift menjadi tak nyaman. Lift pengunjung terlalu penuh, belum lagi harus menunggu waktu lama untuk mencapai aksesnya.
Sementara di lift barang, kondisi sudah tak memungkinkan lantaran penuh barang belanjaan, pembeli maupun pedagang. “Walau begitu kami bersyukur pembeli di sini cukup banyak,” kata Yanti, 42, penjual pakaian di lantai 5. Pedagang di dalam gedung memang sedikit tertata. Berbeda jauh dengan pedagang di luar gedung, terutama di trotoar. Mereka berebut lapak di jalan dengan juru parkir sehingga menimbulkan kesemrawutan dan kemacetan. Kondisi tersebut terpantau di sepanjang Jalan KH Wahid Hasyim, Jalan Aipda KS Tubun, Jalan Jatibaru Raya, serta Jalan Fachrudin.
Di beberapa jalan itu, penataan PKL amburadul lantaran mereka dengan mudah berjualan di trotoar hingga pinggir jalan meskipun di lokasi ada petugas yang berjaga. Hambali, 36, PKL di Jalan Fachrudin, mengakui berjualan di luar lebih menyenangkan bila dibandingkan dengan harus membuka toko di dalam gedung. Di luar, pembeli dengan bebas memilih barang dagangan. “Kalau di dalam kita harus berdesak-desakan,” tuturnya.
(Raisa Adila)