Pengusaha dan Kebijakan Ekonomi

Koran SI, Jurnalis
Kamis 17 Juni 2010 10:25 WIB
ilustrasi Foto: Heru Haryono/okezone
Share :

PENGUNDURAN diri Sri Mulyani Indrawati dari jabatan Menteri Keuangan pada akhir Mei lalu mengubah konstelasi tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II.

Presiden SBY hanya menyisakan dua orang ekonom sebagai menteri di bidang perekonomian, yakni Menteri Perdagangan Mari Pangestu dan Menteri PPN/ Kepala Bappenas Armida Alisjahbana. Sementara sisanya berasal dari kalangan partai politik, pengusaha, dan bankir.

Kemudian untuk memperkuat tim ekonomi, Presiden SBY pun membentuk Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang mayoritas anggotanya adalah pengusaha. Ada anggapan, dengan terpilihnya kalangan pengusaha sebagai pejabat pembuat kebijakan publik - terutama di bidang ekonomI - akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Alhasil, jika mereka sukses mengelola bisnis, akan sukses pula dalam mengelola perekonomian negara.

Bukankah mereka telah berhasil menyejahterakan dirinya sehingga akan berhasil pula menyejahterakan bangsanya. Paul Krugman, ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2008, memaparkan betapa berbahayanya jika kebijakan ekonomi suatu negara diserahkan kepada pengusaha.

Dalam risalah yang berjudul Negara Bukan Perusahaan (Marjin Kiri: 2010), dia menjelaskan perbedaan karakter antara seorang ekonom dengan pengusaha dalam memandang perekonomian. Menurut dia, cara berpikir yang membentuk seorang pengusaha andal bukanlah kebiasaan berpikir seorang ekonom. Lebih lanjut dia mengatakan, seorang presiden direktur yang menghasilkan uang USD1 miliar bukan orang yang tepat untuk dimintai pendapat soal perekonomian sebesar USD6 triliun.

Apa sebabnya? Krugman menegaskan, karena negara bukanlah sebuah perusahaan besar. Mengelola perekonomian negara tentunya jauh lebih rumit dari mengelola bisnis perusahaan. Di dalam perekonomian suatu negara, ada ribuan lini bisnis yang berlainan dan bahkan tak jarang saling bertentangan satu sama lain.

Mereka dipersatukan hanya karena berada di batas wilayah negara yang sama. Ini berbeda dengan ekonomi perusahaan, meski memiliki lini bisnis yang berbeda-beda, namun cenderung dipersatukan oleh satu tema utama. Artinya, bisnis perusahaan tidak bisa menyamai kompleksitas sistem perekonomian nasional. Secara fundamental, Krugman mengatakan, perbedaan antara strategi bisnis dengan analisa ekonomi adalah sistem yang mendasarinya.

Kegiatan bisnis pada dasarnya adalah sistem yang terbuka, sedangkan perekonomian nasional merupakan sistem yang tertutup. Pengusaha, kata Krugman, tidak terbiasa berpikir tentang sistem yang tertutup, sementara ekonom sebaliknya.

Dalam sistem yang terbuka, persaingan didorong guna mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Tidak peduli keuntungan yang diperoleh berarti kerugian bagi yang lain. Sebagai contoh, tarif bea keluar produk kakao, CPO atau batu bara yang rendah di satu sisi menguntungkan kalangan pengusaha perkebunan atau pengusaha batu bara. Namun, kebijakan itu justru mematikan industri hilir yang kesulitan mendapatkan bahan baku.

Nah, dalam sistem tertutup, ekspor terpaksa dikurangi untuk menghidupkan industri. Contoh lainnya adalah keberhasilan dalam satu lini bisnis di sebuah perusahaan, apakah secara finansial, teknologi atau pemasaran kerap membantu perusahaan dalam mengembangkan lini lainnya. Pada akhirnya akan mempekerjakan banyak orang di bidang-bidang itu.

Namun, dalam sebuah perekonomian yang berhasil menjual banyak barang biasanya akan mendapatkan umpan balik negatif dari sektor-sektor perekonomian yang lain. Atau mengenai kebijakan suku bunga. Para pengusaha kerap meminta suku bunga ditekan rendah supaya kegiatan bisnis mereka bisa semakin lancar.

Pengusaha properti, misalnya menginginkan dengan suku bunga rendah, maka rumah atau apartemen jualannya akan cepat laku. Bagi bank sentral, suku bunga perlu diatur karena mereka berkepentingan untuk menjaga inflasi sehingga ekonomi tidak menjadi kepanasan yang pada akhirnya justru menimbulkan masalah perekonomian baru.

Krugman dalam risalah singkatnya ini mengatakan, untuk berhati- hati mendengarkan nasihat pengusaha mengenai persoalan perekonomian nasional. Dia mencontohkan saat depresi besar Amerika Serikat pada tahun 1930-an, John Maynard Keynes meminta agar para pengambil kebijakan serta politisi di parlemen untuk mengabaikan saran dari para bankir dan pengusaha manufaktur.

Namun nasihatnya diabaikan, dan akibatnya krisis ekonomi justru makin hebat karena tabiat pengusaha yang ingin mengambil keuntungan dalam celah yang sempit. Bagaimana dengan situasi di Indonesia? Selain dianggap dapat menyejahterakan masyarakat, pengusaha yang menjadi pejabat publik dianggap tidak mungkin untuk korupsi.

Anggapan ini sempat muncul saat seleksi calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini agar pejabat baru merupakan orang yang sudah mapan secara ekonomi sehingga tidak mungkin untuk melakukan korupsi.Anggapan ini jelas keliru, karena tidak ada korelasi antara menjadi kaya dengan keengganan untuk korupsi. Dalam kuliah umum yang diselenggarakan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi pada 18 Mei lalu, Sri Mulyani memaparkan pengalamannya di pemerintahan.

Dia menuturkan, pejabat dan pengusaha tidak jarang sulit memisahkan dirinya antara sebagai pejabat yang membuat kebijakan untuk publik dengan dirinya sebagai pengusaha. Mereka berupaya mengambil keuntungan pribadi atas kebijakan pemerintah meski dibungkus dengan amat canggih sebagai kepentingan masyarakat.

Di lain kisah, pernah pada satu waktu terjadi pertentangan antara dua menteri ekonomi mengenai pajak ekspor batu bara. Menteri yang satu menginginkan ekspor batu bara dikenakan pajak karena ekspor yang sedang meningkat. Namun, menteri satunya lagi menentang hal itu, dan ekspor batu bara baru bisa dikenakan pajak, jika harganya sudah dua kali lipat dari harga saat itu. Kebetulan menteri yang menentang tersebut adalah “bekas” pengusaha batu bara.

Di sinilah pentingnya etika bagi pejabat publik, baik dia yang berasal dari kalangan ekonom, pengusaha, partai politik atau profesional. Bahwa begitu mereka menduduki jabatan publik, maka segala kebijakan yang dibuatnya akan berdampak pada kepentingan masyarakat, dan menihilkan kepentingan diri atau kelompoknya.

Namun, apakah ini mungkin? Ketika hari-hari ini kita disajikan tontonan drama politik, seorang pengusaha yang bermasalah soal pajak dan salah satu perusahaannya telah menimbulkan kerusakan lingkungan dahsyat mendapatkan posisi penting dalam sistem politik nasional, bahkan menjadi tempat meminta restu para aktivis politik.

Sementara pimpinan pemerintahan dan parlemen seolah tutup mata atas kerusakan yang telah ditimbulkannya. Betapa mengerikan karena selain berkuasa secara ekonomi juga berkuasa secara politik. (aria yudhistira/Koran SI)(adn)

(Rani Hardjanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya