JAKARTA - The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) menyatakan, penahanan sekitar 4.200 kontainer berisi besi tua (scrap) di sejumlah pelabuhan menyebabkan para produsen baja nasional harus mengeluarkan biaya tinggi akibat kekurangan bahan baku.
Seperti diketahui, kontainer-kontainer berisi scrap ditahan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Belawan Medan, sejak 3 Februari 2012 karena diduga mengandung limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Co-Chairman I IISIA Ismail Mandry mengatakan, beberapa produsen baja harus saling berlomba untuk mendapatkan pasokan scrap buatan lokal yang harganya semakin tinggi sejak adanya penahanan kontainer tersebut. Menurutnya, sebelum ada peristiwa penahanan kontainer, harga scrap lokal masih Rp4.800-5.000 per kilogram (kg). Dalam dua bulan setelahnya, harga scrap terus bergerak sampai ke Rp5.600-6.000 per kg.
Dia menambahkan, porsi scrap lokal dari komposisi impor adalah 30 persen berbanding 60-70 persen.
"Terjadi disefisiensi luar biasa. Kalau impor naik, finish product naik 15-20 persen. Tapi, sampai kapan akan bertahan? Karena jumlah pasokan sedikit lalu produsen saling rebutan. Daripada kena penalti saya bayar mahal supaya bisa memenuhi produksi. Terjadi persaingan tidak sehat diantara kami," kata Ismail di Jakarta, Minggu (8/4/2012).
Dia menjelaskan, ada beberapa produsen baja yang menggunakan billet dalam proses produksinya. Perbedaan harga antara billet dan scrap sekira USD250-300 per ton.
"Untuk menyiasati, kita lakukan importasi billet. Karena scrap tidak ada, otomatis proses beli billet akan masuk dari luar. Billet tidak bisa menggantikan scrap. Lebih efisien pakai scrap," ungkapnya.
Selain itu, menurutnya, produsen baja tetap harus membayar biaya listrik sekira Rp5-6 miliar per bulan yang digunakan untuk mesin peleburan dan pencetak akibat kekurangan scrap.
"Bayar listrik satu bulan di atas Rp20 miliar dengan kapasitas 30.000 ton per bulan. Kalau tidak ada scrap, mesin peleburan dan pencetak tidak beroperasi tapi bayar listrik Rp5-6 miliar per bulan," ungkapnya.
Tak hanya itu, Ismail menambahkan, produsen baja yang mengimpor scrap juga harus membayar biaya penyimpanan yang tidak sedikit setiap harinya di pelabuhan (demorage).
"Sampai hari ini tidak ada jalan keluar dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. IISIA sudah mengupayakan berbagai upaya agar pemerintah mau melepaskan scrap kontainer yg ditahan di berbagai pelabuhan namun sampai hari ini tidak dilakukan pemerintah," paparnya.
Saat ini, Ismail mengaku, pihaknya masih menunggu jadwal ulang rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI dan respon surat perlindungan dari Komisi III DPR RI.
"Kami masih menunggu itu. Industri baja ini mau dikemanakan, karena 30.000 karyawan terancam karena ketiadaan bahan baku. Beberapa perusahaan sudah menghentikan produksinya. Ini sangat berbahaya karena industri baja mulai terganggu," tegasnya.
Tempuh Jalur Hukum
Ismail mengatakan, IISIA meminta pengacara Henry Yosodiningrat untuk membantu penyelesaian masalah tersebut dari sisi hukum. "Kami dari asosiasi masuk ke ranah hukum bukan bidang kami. Kami perlu beliau (Henry) sebagai profesional di bidang hukum untuk membela kami," jelasnya.
Dia menyebutkan, kasus ini adalah kasus yang keempat. Sebelumnya pernah terjadi tiga kasus serupa. "Akar persoalan ini persepsi UU 32/2009 pasal 1 ayat 2 mengenai definisi limbah B3 karena sifat, jumlah, konsentrasi merusak lingkungan, manusia, atau makhluk hidup lainnya," ucapnya.
Sementara, Henry Yosodiningrat menjelaskan, yang dibeli para produsen baja adalah scrap sesuai dengan kontrak jual beli antara asosiasi selaku pembeli dan eksportir. "Ini jadi beban importir. Oleh karena itu, mereka harus terpaksa membayar demorage setiap hari bertambah dari 3 Februari. Bea Cukai dan KLH tidak mau tahu," ucapnya.
Senada dengan Ismail, Henry mengatakan, saat ini pihaknya masih belum mau mengajukan gugatan.
"Kami masih menahan gugat KLH karena timbulkan kerugian secara materi bayar demorage dan tenaga kerja tidak bisa bekerja. Kami msh berharap perlindungan surat Komisi III DPR tapi belum direspon, dan Komisi VII RDPU tapi ditunda terus," jelasnya.
Dia menuturkan, pihaknya hanya berusaha menghindari 30.000 tenaga kerja melakukan unjuk rasa.
(Widi Agustian)