JAKARTA - Realisasi neraca keseimbangan primer per 30 November 2015 tercatat defisit Rp177,6 triliun, membengkak 266 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp66,8 triliun.
Kondisi tersebut harus diwaspadai oleh pemerintah karena di sisi lain penerimaan pajak sampai akhir 2015 hanya mencapai Rp1.055 triliun (netto) atau 81,5 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp1.294,25 triliun. Dengan demikian, kekurangan penerimaan (shortfall) pajak mencapai Rp239 triliun.
”Sederhananya, (anggaran) kita tekor, pajak hanya tumbuh 9 persen, tetapi ada tambahan utang Rp500 triliun untuk belanja, alih-alih untuk menutupi defisit (anggaran),” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati di Jakarta kemarin. Neraca keseimbangan primer dihitung dari selisih antara pendapatan negara dikurangi belanja negara tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang.
Bila neraca tersebut defisit, maka artinya pemerintah membayar bunga utang dengan utang baru karena pendapatan tidak mampu menutupi belanja. ”Sejak 2012 keseimbangan primer defisitnya bukannya makin mengecil, tapi malah meningkat,” ucap dia. Enny menilai, penerimaan pajak pada 2015 yang mencapai Rp1.055 triliun cukup memprihatinkan karena hanya tumbuh 9 persen dibanding realisasi pada 2014 yang mencapai Rp982 triliun.
Dengan kata lain, meningkatnya penerimaan pajak terjadi karena kondisi alamiah semata akibat pertumbuhan ekonomi plus inflasi. ”Di sisi lain, pertumbuhan utang mencapai 17 persen,” imbuhnya. Enny mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dalam mengelola utang. Hal tersebut disebabkan semakin membengkaknya defisit keseimbangan primer juga semakin meningkatkan risiko default (gagal bayar) terhadap kewajiban pembayaran utang dan bunganya.