Firman menjelaskan Direksi JICT saat ini semakin represif. Uang sewa perpanjangan tetap dibayarkan padahal mencekik perusahaan dan menyebabkan hak karyawan tidak dibayarkan.
"Nilai sewa dua kali lipat dari sebelumnya dan dalam kondisi tetap dibayar, sedangkan sebelumnya fleksibel. JICT harus bayar sewa per tahun sekira USD85 juta. Ini berakibat perusahaan melakukan superefisiensi sehingga berdampak pada pengurangan hak karyawan secara sepihak sebesar 42%," katanya.
Menurut dia para pekerja tidak anti-investasi asing, namun perpanjangan JICT seharusnya dilakukan dalam koridor yang taat azas dan menguntungkan negara serta pekerja yang selama ini mengelola JICT dengan produktivitas yang dapat diandalkan.
Ia juga menilai selain direksi, ada dewan komisaris yang menurutnya harus melakukan pengawasan langsung terhadap jalannya perusahaan dan seharusnya bisa mencegah terjadinya kesalahan tata kelola pihak direksi.
"Saat ini kami dicap dan dianggap musuh negara jika menolak Hutchison. Direksi juga getol wanprestasi dan mempolitisasi hak-hak pekerja. Para Direksi JICT semakin represif dan menyudutkan pekerja yang menolak perpanjangan kontrak. Padahal sejak 2014, para pekerja sudah memperjuangkan aset bangsa JICT agar kembali dikelola Indonesia pada 2019, demi terwujudnya visi kemandirian nasional," katanya.
(Fakhri Rezy)