JAKARTA - Kesepakatan perpanjangan kontrak pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal (JICT) antara Pelindo II dan Hutchison Ports Holdings (HPH) terus menyisakan persoalan hingga saat ini.
Pekan lalu, Serikat Pekerja JICT melakukan aksi mogok yang salah satu tuntutannya mendesak pembatalan perpanjangan kontrak tersebut.
Ketua Bidang Maritim Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman) Siswanto, menegaskan bahwa pihaknya mendukung penolakan perpanjangan kontrak JICT perspektif visi Indonesia yang mandiri secara pangan, energi, dan maritim.
Menurutnya, anak-anak bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk mewujudkan visi tersebut. Karena itu, semua pihak harus bersinergi untuk mewujudkan visi tersebut.
“Dalam tata kelola pelabuhan, kita sebenarnya sudah mampu mengelola sendiri tanpa melibatkan pihak lain,” ungkap Siswanto di Jakarta, Kamis (9/8/2017).
Baca Juga:
Parah! Sudah Berhenti Mogok Kerja, Serikat Pekerja JICT Diganjar SP II dan Pemotongan Gaji
Hentikan Aksi Mogok Kerja, SP JICT Kehilangan Dukungan Pekerja?
Menurutnya, jangka waktu kerjasama pengelolaan JICT selama 20 tahun dengan melibatkan pihak asing sebenarnya cukup sebagai proses transfer knowledge. Setelah kerja sama selesai, berikan kesempatan kepada anak-anak bangsa untuk mengelola sendiri.
“Pengalaman saya mengelola salah satu pelabuhan di Indonesia, faktanya kita bisa berdayakan SDM yang ada. Begitu pun dengan stakeholder kepelabuhanan, semua bisa bersinergi dengan baik. Persoalannya, tinggal kembali kepada good will kita sendiri,” jelasnya.
Sementara itu, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M Massardi, menilai aksi yang dilakukan SPJICT patut didukung karena mempertahankan aset bangsa agar tidak jatuh kepada pihak-pihak yang hanya ingin mengeksploitasi.
Adhie menegaskan, seharusnya tugas mempertahankan aset bangsa itu dilakukan penguasa sebagai bagian dari tanggung jawab konstitusi. Namun sayangnya hal itu tidak dilakukan. Ironisnya lagi, aspirasi Serikat Pekerja JICT mempertahankan aset bangsa tidak dihiraukan.
“Hal inilah yang kemudian memicu SP JICT melakukan aksi mogok kerja,” ungkapnya.
Karena itu, Adhie menyebut tiga pihak yang seharusnya mampu mendorong penyelesaian persoalan tersebut.
Tiga pihak tersebut adalah pertama, presiden yang harus menugaskan Menteri BUMN untuk mereview perpanjangan kontrak JICT. Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang harus melakukan investigasi terhadap pihak-pihak yang diduga menikmati transaksi perpanjangan kontrak JICT. Ketiga, DPR menggunakan hak interpelasi memanggil presiden untuk mempertanyakan penyelesaian persoalan tersebut.
“Dari ketiganya, terus terang saya berharap banyak kepada presiden maupun DPR. Sedangkan untuk KPK saya menyangsikan. Salah satunya karena kasus Pelindo II yang lebih dulu ditangani KPK sampai sekarang terkesan mangkrak,” imbuhnya.
(Dani Jumadil Akhir)