Pajak Salah Sasaran Munculkan Transaksi Gelap

Koran SINDO, Jurnalis
Senin 26 Februari 2018 11:11 WIB
Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
Share :

Transaksi Gelap

Pada 2018 target penerimaan pajak naik lebih dari 20% dari realisasi tahun 2017. Akibat tingginya target pajak membuat pemerintah kelimpungan. Transaksi kartu kredit pun ikut-ikutan dilaporkan ke aparat pajak sebagai basis data penyidikan pajak. Padahal, jika rekening bank, termasuk alamat, sumber penghasilan, dan detail lainnya sudah di laporkan, lalu apa urgensinya data transaksi kartu kredit juga ikut diintip? Perlu dicatat, sepanjang 2017, jumlah kartu kredit yang ditutup mencapai 162.000 kartu.

Salah satu alasan penutupan kartu kredit karena khawatir keamanan data yang disetor ke pemerintah bisa bocor. Lalu, apa yang terjadi jika masyarakat merasa AEOI ternyata tidak disiapkan dengan matang? Dalam paper nya di IMF yang berjudul Shadow Economies Around the World , Friedrich Schneider mengungkapkan bahwa ketidakpastian kebijakan perpajakan menyebabkan perilaku shadow economy menjadi marak terjadi. Shadow economy adalah segala transaksi, baik legal maupun ilegal, yang tidak tercatat oleh petugas pajak alias transaksi gelap.

Salah sasaran dalam mencari penerimaan pajak terkadang menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Implikasi dari kebijakan yang salah sasaran ini harus segera dimitigasi karena berkaitan dengan stabilitas perbankan nasional seperti dana simpanan terancam berkurang, dan gerakan nontunai (cashless ) bisa mundur karena masyarakat takut dengan perbankan. Dampak lainnya sangat mungkin muncul transaksi pembelian properti dan kendaraan bermotor tanpa pelaporan pajak. Schneider juga mengingatkan dari hasil risetnya bahwa kemunculan shadow economy merupakan kondisi yang tercipta dari tertekannya warga negara akibat kebijakan di bidang perpajakan.

Kasus di Yunani bisa jadi contoh. Ketika pajak semakin agresif, jumlah transaksi gelap alias tidak dilaporkan pajak naik signifikan. Schneider ingin mengingatkan pemerintah di negara lain agar kasus Yunani jangan terulang. Mulai maraknya transaksi di bawah bantal hingga investasi di uang digital yang luput dari pengawasan pemerintah seperti Bitcoin jadi pertanda keengganan masyarakat memasukkan uang ke sistem keuangan formal. Sejauh ini ada lebih dari 1 juta user aktif Bitcoin di Indonesia.

Mungkin perlu diadakan sebuah penelitian tentang fenomena maraknya investasi di Bitcoin dengan semakin agresifnya kebijakan pajak di Tanah Air. Selain itu efek yang paling dirasakan dari kekhawatiran kebijakan perpajakan adalah laju konsumsi rumah tangga bisa tertahan. Porsi konsumsi terhadap PDB mencapai 56%, sementara pertumbuhan konsumsi pada 2017 hanya 4,95%. Akibat dari lemahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga maka perekonomian hanya stagnan di 5%. Jika kepercayaan masyarakat semakin rendah, ada kekhawatiran fenomena kelas menengah atas menahan belanja semakin marak terjadi di 2018.

Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan diharapkan meninjau kembali aturan teknis yang berkaitan dengan saldo minimal keterbukaan informasi dan keamanan data nasabah. Kepercayaan juga perlu dibangun dari internal aparat pajak, baru kemudian meminta masyarakat untuk percaya bahwa data yang disimpan pemerintah aman tidak bocor. Sosialisasi mutlak harus dilakukan secara serius yang melibatkan seluruh pelaku industri keuangan agar nasabah tidak panik.

Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

(Fakhri Rezy)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya