BANDUNG - Penjajahan Belanda selama 3,5 abad tak hanya meninggalkan warisan hukum dan sistem pemerintahan. Bangsa ini juga meninggalkan infrastruktur yang cukup ekstotis terutama jalur kereta api (KA).
Salah satunya jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang. Kondisi geografis yang cukup ekstrem tak membuat Belanda gentar membangun akses dari satu daerah ke kawasan lainnya di pelosok Jawa Barat.
Jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang yang kini telah nonaktif merupakan salah satu dari peninggalan Belanda yang keberadaannya menyimpan banyak misteri. Ini merupakan jalur KA yang hanya memiliki panjang 82,2 km, namun dibangun dengan dana fantastis mencapai 9.583.421 Florijin/Gulden atau sekitar 116.600 gulden/kilometer.
Besarnya anggaran yang harus disiapkan lantaran jalur yang dimulai dari Stasiun Banjar dan berakhir di Stasiun Pangandaran (sekitar Pantai Pangandaran) itu, dibangun di atas kondisi geografis yang cukup ekstrem. Kawasan lembah berbukit, hutam rimba, hingga melintas di pesisir pantai. Beratnya medan yang harus dilalui tidak menjadi hambatan bagi Belanda membangun jalur ini.
“Sejumlah kalangan menyebut, pembangunan jalur KA Banjar-Pangandaran- Cijulang lebih pada proyek prestisius. Proyek ini menghabiskan biaya dua kali lipat dari rencana awal. Sementara kalau dilihat dari sisi ekonomi, hasil perkebunan Pangandaran tidak cukup bagus,” ungkap Pimpinan Kereta Anak Bangsa Aditya Adilaksana.
Kendati jalur ini hanya berjarak puluhan kilometer, namun kerumitan membuka akses KA ke Pangandaran tidak bisa dianggap enteng. Pemerintah Hindia Belanda di bawah Staatsspoorwegen (SS) siap mengucurkan uang jutaan gulden, lantaran harus membangun empat terowongan dan enam jembatan beton/baja.
Menurut Aditya, rute ini sungguh eksotis. Karena terowongan dan jembatan jalur KA terpanjang di Indonesia ada di jalur Banjar-Pangandaran-Cijulang. Sayangnya, pemerintah memilih menutup jalur ini pada periode 1981 hingga 1982 atau sekitar 30 tahun lalu.
“Untuk membangun jalur ini sangat berat karena konstruksinya cukup berat. Ada empat terowongan. Di situ ada terowongan dan jembatan terpanjang di Indonesia untuk jalur nonaktif. Terowongan yang dibangun tiga tahun lamanya pada 1913 hingga 1916,” jelas dia.
Dari Stasiun Banjar, terowongan pertama yang akan dijumpai adalah Terowongan Philip di Batulawang/Pagak/Sentiong. Jaraknya hanya beberapa kilometer dari Stasiun Banjar. Terowongan yang mengambil nama pangeran kerjaan Belanda ini memiliki panjang 281 meter dibangun pada 1814.
Terowongan kedua adalah Terowongan Hendrik sepanjang 105 meter. Terowongan ini tercatat sebagai terowongan terpendek di jalur ini. Namun kondisinya hingga kini masih berdiri kokoh dan bisa dilalui motor dan mobil.
Rel di terowongan ini nyaris telah hilang seluruhnya. Ujung terowongan Philip dan Hendrik ini masih bisa dilihat oleh mata. Cahaya sinar matahari masih bisa terlihat di sisi terowongan karena panjangnya yang terbilang pendek.
Lain halnya dengan terowongan ketiga, yaitu Terowongan Juliana atau sering disebut Terowongan Bengkok. Walaupun panjang terowongan hanya 147 meter, namun ujung terowongan ini tak terlihat karena konstruksi terowongan yang berbelok tajam. Terowongan Hendrik masih berdiri kokoh dan tampak terawat.