JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengakui neraca transaksi berjalan Indonesia yang terus mengalami defisit menjadi faktor domestik yang selama ini membuat nilai tukar Rupiah terus tergerus, selain karena tekanan ekonomi eksternal.
Agus mengakui sejak dirinya menjabat sebagai Gubernur BI pada Mei 2013, hingga akan purna-tugas pada 23 Mei 2018 esok, nilai Rupiah dibanding dolar telah melemah dari Rp9.700 per USD menjadi Rp14.100 per USD.
"Ini tidak bisa terhindar karena ada faktor kita sejak 2012 transaksi berjalan terus defisit," kata Agus dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Sejak Agus memimpin Bank Sentral pada 2013 defisit transaksi berjalan menembus USD28 miliar dengan lonjakan inflasi hingga 8,38%. Dua faktor itu pula yang membuat Agus, di awal kariernya sebagai pimpinan Bank Sentral, langsung menerapkan kebijakan moneter ketat.
Tahun ini, Agus memperkirakan defisit transaksi berjalan Indonesia akan sebesar USD23 miliar atau 2,3% dari PDB. Di sisi lain, inflasi juga masih terkendali di bagian bawah sasaran inflasi BI di rentang 2,5%-4,5% (yoy).
Neraca transaksi berjalan merupakan indikator untuk melihat pasokan dan permintaan valuta asing (valas) dari kegiatan perdagangan internasional (ekspor-impor) dan jasa suatu negara. Jika transaksi berjalan defisit maka pasokan valas dari aktivitas tersebut tidak cukup untuk mendanai kebutuhan valasnya.
"Pertama kita yakinkan inflasi stabil. Karena negara Indonesia dari negara lain inflasi jauh lebih rendah. Kemudian transaksi berjalan tidak boleh defisit. Thailand suprlus 12% dari PDB, Singapura 20% PDB. Kita mesti berupaya menjadi suprlus," tutur Agus.
Agus juga menjelaskan, saat ini masyarakat kerap salah mempersepsikan nilai Rupiah. Seharusnya, kata Agus, pelemahan Rupiah dilihat dari persentase depresiasinya, bukan semata-mata nominalnya yang sudah melewati Rp14.000.
"Ada persepsi karena satu digit dolar ini dibandingkan dengan lima digit Rupiah," ujar Agus seraya menambahkan kepada parlemen untuk pentingnya mengutamakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Redenominasi Rupiah.
Ke depannya, Agus menekankan perlunya keberlanjutan reformasi struktural di sektor riil, fiskal dan juga moneter untuk membuat Rupiah tidak rentan tertekan dengan melimpahnya permintaan valas.
Kebijakan di sektor riil adalah dengan memperkuat kinerja eskpor, sedangkan di bidang fiskal dengan terus menjaga defisit APBN di bawah 3% dari PDB. Kemudian di bidang moneter, Bank Sentral perlu terus memperdalam pasar keuangan agar likuiditas valas dan Rupiah terjaga.
(Dani Jumadil Akhir)