Utang Indonesia bertambah?
Pada prinsipnya, kata Prasetyantoko, investasi yang dijanjikan untuk Indonesia selama ajang IMF-Bank Dunia dapat dikategorikan sebagai utang.
Namun Pras menyebut kategori utang itu harus dibedakan dengan pinjaman uang dari IMF atau Bank Dunia.
"Utang karena kita mau membangun infrastruktur tapi tidak menggunakan uang kita. Tapi kita tidak berutang pada IMF atau Bank Dunia, yang identik bahwa kita kekurangan likuiditas atau krisis," ujarnya.
"Kita sedang memberi kesempatan pada investor yang juga mencari keuntungan, salah satunya investasi asing langsung," lanjut Pras.
Merujuk data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko pada Kementerian Keuangan per Mei 2017, Bank Dunia adalah kreditur terbesar Indonesia.
Bank Dunia meminjamkan uang sebanyak Rp234,68 triliun ke Indonesia. Angka itu mencapai 32,4% utang luar negeri pemerintah.
Secara berturut-turut, kreditur besar Indonesia lainnya adalah Jepang (Rp200,67 triliun), Bank Pembangunan Asia (Rp120,91 triliun), Perancis (Rp24,3 triliun), dan Jerman (Rp24,88 triliun).
Sementara itu, pada kuartal kedua tahun 2018, investasi asing langsung terbesar berasal dari Singapura, yakni US$2,7 juta atau Rp41 miliar.
Investasi picu masalah di masyarakat?
Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia, yang terdiri dari sejumlah kelompok masyarakat sipil, menyebut pelanggaran hak asasi manusia kerap terjadi dalam proyek strategis nasional.
Hal yang sama diutarakan sejumlah pengujuk rasa yang menentang ajang tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, pekan lalu.
Keterlibatan warga disebut minim karena percepatan perizinan, pengadaan tanah, dan pembiayaan proyek melalui utang.
Komnas HAM misalnya, juga merekomendasikan penghentian sementara tahapan proyek pembangunan bandara di Majalengka dan Kulon Progo, atas pertimbangan hak warga.
Prasetyantoko mengatakan, potensi persoalan di tingkat akar rumput akan terus ada seiring rencana pembangunan infrastruktur, termasuk yang dibiayai swasta.
Menurutnya, pemerintah wajib membuat solusi menang-menang agar proyek itu bermanfaat bagi seluruh pihak.
"Resiko dalam manajemen proyek infrastruktur selalu ada, proyek yang dibiayai dengan skema apapun."
"Perlu ada pendekatan menyeluruh, misalnya studi visibilitas, bagaimana pemerintah memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan suatu proyek," kata Pras.
Sebelum ini, penyelenggaraan pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali memicu berbagai kritik dari sejumlah kalangan.
Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, mendesak pemerintah memaparkan penggunaan dana negara untuk perhelatan tersebut.
Sementara mantan Meko Kemaritiman, Rizal Ramli, menganggap ajang itu tak sepantasnya digelar di Indonesia setelah bencana alam besar mengguncang Sulawesi Tengah.
Namun, beberapa menteri Kabinet Kerja menyatakan pengeluaran sebagai tuan rumah tak lebih banyak dibandingkan manfaat ekonomi yang diraih, baik dari investasi maupun penghasilan langsung yang dirasakan pelaku usaha di Bali.
(Feb)
(Rani Hardjanti)