JAKARTA - Pembangunan infrastruktur sedang gencar dilaksanakan Pemerintah. Hal tersebut dilakukan tidak lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengingat efeknya yang dapat menstimulasi sektor-sektor lain berkembang seperti perekonomian, pendidikan, pertanian, tenaga kerja, dan seterusnya.
"Namun pembangunan infrastruktur yang sedang gencar dilaksanakan ini dapat menimbulkan potensi terjadinya sengketa konstruksi dalam pelaksanaannya. Hal ini terkait dengan besarnya jumlah nilai paket pekerjaan dan juga kurangnya pengetahuan terhadap aspek dalam kontrak kerja konstruksi," demikian disampaikan Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Kementerian PUPR Sumito pada acara Seminar dan Workshop Konstruksi Indonesia 2018, yang mengangkat tema Kontrak Konstruksi dan APS, Jumat (2/11/2018).
Baca Juga: Australia, Malaysia hingga China Tingkatkan Kualitas Pekerja Konstruksi RI
Sesuai Undang-undang Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 pasal 1 angka 8, Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Sedangkan pada pasal 46, dinyatakan bahwa pengaturan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi, dimana bentuknya dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Selama ini permasalahan yang terjadi di lapangan dalam hal pelaksanaan kontra kerja konstruksi antara lain : isi dokumen kontrak yang multitafsir, kurangnya pemahaman baik oleh pengguna maupun penyedia jasa, kurang tepat dalam pemilihan jenis kontrak, desain yang tidak sesuai kondisi lapangan, dan seterusnya.
Faktor penyebabnya dapat ditimbulkan akibat faktor perubahan lingkup pekerjaan, keterbatasan personil, kurang jelasnya spesifikasi teknis, faktor penghematan anggaran, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Presiden Jokowi Minta Menteri PU Buat Aturan tentang Kesejahteraan Tenaga Konstruksi
Hal tersebut tidak boleh dibiarkan saja, sebab jika Pembangunan Infrastruktur terhambat karena sengketa atau permasalahan lain dalam hal kontrak kerja konstruksi, maka masyarakat yang akan dirugikan, karena produk konstruksi tidak selesai tepat pada waktunya. Belum lagi kerugian dalam hal anggaran yang bisa saja diambil dari APBN, ungkap Sumito.
Terkait dengan hal-hal tersebut upaya yang harus dilakukan adalah dengan peningkatan kompetensi pengguna dan penyedia jasa konstruksi, pemenuhan kelengkapan sebelum dimulainya pekerjaan, dan menerapkan kontrak kerja konstruksi sesuai Perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah sendiri dalam hal ini Kementerian PUPR telah melakukan berbagai langkah antara lain melakukan penyusunan standar kontrak kerja konstruksi, meningkatkan kompetensi pengguna dan penyedia jasa melalui Bimbingan Teknis dan/atau menyediakan narasumber yang kompeten, melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap tertib penyelenggaraan kontrak konstruksi di lingkungan Kementerian PUPR, serta menyediakan sarana diskusi atau konsultasi penyelesaian permasalahan kontrak konstruksi.
(Feb)