JAKARTA - Pemerintah tengah melakukan revisi terkait sektor yang masuk Daftar Negatif Investasi. Pembahasan ini dilakukan dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di kantornya, Selasa (13/11/2018).
Dalam rapat tersebut dihadiri sejumlah kementerian terkait, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perhubungan.
Baca Juga: Jurus Jitu KJRI Sedot Investor ke Indonesia
Menteri Kementerian Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, dalam rapat tersebut mengusulkan beberapa jenis industri yang akan dibebaskan dari DNI. Di antaranya adalah industri crumb rubber atau serbuk karet.
Di sisi lain, dibahas juga kemungkinan adanya industri manufaktur yang diusahakan UMKM juga revisi dari DNI. Meski demikian, Airlangga memastikan belum ada hasil dalam rapat tersebut.
"Banyak pembahasan, ada manufaktur ada yang diusahakan untuk UMKM, jadi masih banyak. Masih long list. Masih di bahas nanti, hari Jumat difinalisasi," katanya di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (13/11/2018).
Sementara itu, Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene mengatakan, porsi kepemilikan asing dalam farmasi di Indonesia tetap sebesar 85%.
"Kita tetap melindungi industri nasional, jadi yang jelas seperti industri farmasi kita masih 85:15 (asing maksimal 85%)," ujar dalam kesempatan terpisah.
Meski demikian, Engko enggan berkomentar terkait hasil rapat revisi DNI. Katanya, tidak terlalu banyak perubahan yang dilakukan. "Tidak terlalu banyak yang berubah dibandingkan Perpres 44," katanya.
Baca Juga: Investasi di 48 Kawasan Industri Dipermudah
Staf Ahli Bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan Cris Kuntadi juga menyatakan, investor asing meminta porsi sektor perhubungan bisa lebih dari 49%.
"Jadi ini masih dibahas, belum selesai. Sebetulnya harapan asing itu dari 49% naik, jadi asing bisa mayoritas," katanya.
Namun kata Cris, hal ini bertenggangan dengan aturan yang ada. Seperti bandara dan pelabuhan merupakan objek vital strategis, bola dikuasai asing saat memerlukan kebutuhan mendesak seperti, bencana atau keamanan, maka menjadi riskan.
"Di samping itu diundang-undang pun juga mengatakan kalau mayoritas itu harus kita (Indonesia)," katanya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)