JAKARTA - Wacana Calon Presiden Nomor urut 2 Prabowo Subianto untuk menaikkan tax ratio (rasio pajak) hingga mencapai 16% berpotensi untuk menelan korban. Khususnya bagi mereka karyawan yang berpenghasilan pas-pasan atau setara Upah Minimum Regional (UMR).
Ekonom Indef Bhima Yudistira mengatakan, jika tax ratio ditingkatkan maka kemungkinan karyawan yang memiliki penghasilan pas-pasan bisa terkena pajak. Sebab, bisa saja Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diturunkan untuk menarik Wajib Pajak (WP) baru.
Sebagai gambaran, saat ini sendiri PTKP yang berlaku adalah penghasilan bruto yang jumlah rata-rata Rp.4.500.000 per bulan. Artinya mereka yang memiliki penghasilan diatas itu atau setara akan terkena biaya pajak.
Jika diturunkan, maka mereka yang memiliki penghasilan di bawah Rp4.500.000 per bulan bisa terkena pajak. Sedangkan gaji rata-rata karyawan swasta jika mengacu data UMP DKI rata rata sebesar Rp3.900.000 per bulan.
Baca Juga: Prabowo Ingin Tax Ratio Naik Jadi 16%, Sektor Riil Akan Terhambat
"Bisa diturunkan (PTKP)nya. Tapi itu berisiko buat pengusaha dan karyawan menengah kecil kena dampaknya," ujarnya saat dihubungi Okezone, Jumat (18/1/2019).
Selain menurunkan PTKP, ada beberapa cara untuk meningkatkan tax Ratio. Misalnya dengan cara memperluas basis pajak khususnya Wajib Pajak yang berada di luar negeri yang belum terdata tax Amnesty.
Perluasan basis pajak ini bisa dengan cara kerjasama dengan negara-negara lainya lewat keterbukaan data nasabah. Sehingga pemerintah bisa mengetahui data nasabah warga negara Indonesia yang ada di luar negeri.
"Pemerintah pernah bilang bahwa potensi harta wni diluar negeri mencapai Rp11.450 triliun. Tapi hasil tax amnesty belum," jelasnya.
Tak hanya itu, reformasi pajak juga perlu dipercepat khususnya koordinasi antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Karena Kementerian Keuangan sebabnya telah melaporkan ada 2.000 Penanaman Modal Asing (PMA) yang tidak patuh pajak selama 10 tahun yang mengakibatkan kerugian Rp500 triliun.
"Kalau ada sistem yang terintegrasi kepatuhan pajak PMA bisa dikejar karena potensinya besar dri praktik base errosion and profit shifting," jelasnya.
Di sisi lain lanjut Bhima, DJP juga perlu memperkuat jumlah kualitas dan jumlah fiskus di daerah. Sebab rasio wajib pajak dan fiskus dinilainya masih belum ideal. Bhima juga meminta kepada DJP untuk insentif fiskal dievaluasi. Karena menurutnya, berpotensi menggerus penerimaan pajak.
"Sementara output dari insentif fiskal berupa tax holiday dan tax allowances tidak semua efektif naikan pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Namun lanjut Bhima, hal-hal tersebut tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu 5 tahun. Sebab, membutuhkan desain yang matang untuk bisa mencapai tax Ratio sebesar 16%. "Untuk kejar tax ratio 16% harus ada grand designnya dilakukan bertahap tergantung situasi ekonomi," ucapnya.
(Rani Hardjanti)