JAKARTA - Dewan Komisaris PT Krakatau Steel (Persero) Tbk menyayangkan keputusan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memaksakan pengujian blast furnace ini untuk selesai hanya dalam waktu dua bulan. Padahal, ada banyak item yang harus diuji kehandalan dan keamanannya.
Baca Juga: Komisaris Independen Krakatau Steel Ajukan Pengunduran Diri, Kenapa?
Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas mengatakan, proyek ini seharusnya tidak boleh hanya dilakukan uji coba selama dua bulan saja. Apalagi dalam kontraknya, proyek ini harus dilakukan pengujian minimal 6 bulan.
“Enggak punya pengalaman. Sekarang mereka berproduksi dengan membuang gas holdernya ke udara. Artinya ada satu tekanan pokoknya jadi dulu dah urusan mah belakangan,” ujarnya di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Baca Juga: Terancam Rugi Rp10 Triliun, Bos Krakatau Steel Akui Ada Proyek Dipaksakan
Roy menambahkan, alasan mengapa Kementerian BUMN memerintahkan hanya dilakukan pengujian dua bulan karena tiga hal. Alasan pertama adalah jangan sampai adanya temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kemudian alasan kedua adalah klaim dari kontraktor Blast Furnace dari MCC CERI (Capital Engineering and Research Incorporation Limited). Lalu alasan ketiga adalah karena perseroan hanya memiliki bahan baku untuk dua bulan saja.
Padahal kontraktor sendiri bersama sama dengan Krakatau Steel sudah tiga kali melakukan amandemen untuk penguluran waktu. Ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada Deputi BUMN, yang bersangkutan tidak tahu sama sekali jika proyek tersebut beroperasi hanya dua bulan.
“Pokoknya ada tiga alasan, pertama itu takut ada temuan BPK. Kedua ada MCC CERI dan ketiga alasannya kita cuma punya bahan baku 2 bulan,” ucapnya.
Roy pun mengaku tidak mengetahui nasib proyek ini selanjutnya apakah bisa jalan atau tidak. Mengingat, tidak ada itikad baik dari Kementerian BUMN untuk membantu proyek ini.
Lagipula, proyek ini merupakan proyek serba salah, yang mana jalan manapun yang diambil akan tetap merugikan perusahaan. Jika terus dijalankan, maka perseroan akan merugi sekitar Rp1,3 triliun, sedangkan jika dihentikan maka akan kehilangan uang Rp10 triliun.
“Solusi saya adalah modifikasi ada enggak teknologi yang bisa modifikasi ini. Sejak pertama saya hitung memang HPP-nya enggak masuk,” ucapnya.
(Feby Novalius)