JAKARTA - Internet bagi kehidupan sekarang sudah menjadi kebutuhan primer. Sedikit saja mengalami gangguan, dampaknya sangat besar terutama untuk perekonomian.
Tercatat sepanjang 2019, terjadi pemadaman internet lebih dari 18.000 jam di seluruh dunia. Kondisi tersebut membuat perekonomian dunia merugi hingga dari USD8 miliar atau setara Rp110,4 triliun (kurs Rp13.804/USD) pada 2019. Pemadaman tersebut biasanya menjadi kebijakan pemerintah yang sengaja dilakukan karena sesuatu hal.
Baca Juga: Transaksi Ekonomi Digital RI Diprediksi Tembus Rp551 Triliun Tahun Ini
Negara yang dicap sebagai pelanggar terburuk soal internet adalah India, Chad dan Myanmar. Sementara Irak adalah negara paling terdampak ekonominya dengan kehilangan sekitar USD2,3 miliar atau setara Rp31,7 triliun akibat matinya internet selama 263 jam dan penutupan media sosialnya.
Data ini merujuk laporan yang diterbitkan oleh perusahaan riset internet Top10VPN bekerja sama dengan pengawas kebebasan internet Netblock dan kelompok advokasi The Internet Society. Laporan ini meneliti pemadaman internet di setidaknya terjadi di 122 negara.
"Dalam hal ekonomi, gangguan (internet) tidak hanya mempengaruhi ekonomi formal tetapi juga informal, terutama di negara-negara yang kurang berkembang. Juga dapat terjadi kerusakan yang berkelanjutan dengan hilangnya kepercayaan investor dan pembangunan yang goyah, yang membuat semua perkiraan kami konservatif," tulis Peneliti Samuel Woodhams Simon Migliano dalam laporannya untuk Top10VPN, dikutip dari CNN, Jumat (10/1/2020).
Baca Juga: Cerita Perubahan Teknologi Singgung Nokia, Mantan Menaker: Inovasi atau Mati
Dahulu, pemadaman internet terjadi karena gangguan yang terjadi pada kabel komunikasi bawah laut yang tidak sengaja. Namun sekarang, pemadaman semakin sering dilakukan secara sengaja oleh pemerintah, atau bisa dikatakan sebagai hal yang sangat umum untuk dilakukan.
Dalam lima tahun terakhir tercatat pemadaman internet tumbuh signifikan, terutama ketika pemerintah ingin mengendalikan kerusuhan dan protes di negaranya.
Menurut Freedom House, sebuah organisasi non-pemerintah berbasis di Washington, tahun lalu hampir setengah dari populasi di dunia tinggal di negara yang seringkali memutus jaringan internet atau seluler karena alasan politik. Contohnya di Indonesia.