Usulan program lumbung pangan ini bukan yang pertama kalinya muncul. Pada era pemerintahan sebelumnya, ide mengalihfungsikan lahan berskala besar untuk mendukung ketahanan pangan juga pernah dicetuskan, namun tidak ada satupun program yang berhasil. Kegagalan itu tercermin dalam program yang dilakukan pada zaman Orde Baru, ketika 1,4 juta hektare gambut di Kalimantan Tengah dialihfungsikan menjadi sawah, kata Iola.
“Proyek ini gagal karena kondisi tanah yang tidak cocok dengan jenis tanamannya. Selain itu, praktik pengeringan lahan gambut dengan pembukaan kanal-kanal besar menyebabkan terjadinya lahan gambut menjadi rusak dan kehilangan fungsinya sebagai tandon air,” katanya.
Tandon air gambut memiliki fungsi penting untuk menyerap air saat musim hujan dan melepaskannya secara perlahan ke aliran di sekitarnya pada musim kering. Program yang juga menyasar pada pembukaan gambut berisiko menimbulkan bahaya lingkungan jangka panjang seperti kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asam saat kemarau, banjir saat musim penghujan, hingga efek pelepasan emisi karbon yang memperparah pemanasan global.
“Saya melihat transparansi dalam hal ini penting untuk dilakukan pemerintah, karena kebijakan istimewa seperti program food estate sebagai salah satu program strategis nasional membutuhkan pengawalan dari masyarakat. Terutama karena pemulihan dan perlindungan lahan gambut merupakan bagian penting dari upaya berkelanjutan dalam menahan laju pemanasan global. Selain itu, kebijakan pembukaan lahan yang istimewa seperti ini juga rentan menyebabkan konflik masyarakat akibat perampasan lahan,” tambahnya.
(Feby Novalius)