"Seluruh dunia sekarang menghadapi konsekuensi dari geopolitik dalam bentuk kenaikan harga bahan-bahan makanan dan energi yang mendorong lebih tinggi lagi inflasi, setelah tadinya sudah meningkat akibat pandemi, Bahkan negara-negara maju yang biasanya mengalami deflasi sekarang mendapatkan kenaikan inflasi yang tinggi," ungkap Sri di Nusa Dua, Rabu(13/7/2022).
Dia mengatakan, ada beberapa indikator yang perlu diperhatikan.
Pertama, neraca pembayarannya, yaitu apakah trade account, capital account, dan cadangan devisa negara tersebut memadai dampaknya kepada nilai tukar.
Tak hanya itu, ketahanan ekonomi tiap negara pun berbeda satu sama lain, apalagi belum semua negara pulih dari dampak pandemi dua tahun terakhir ini.
"Negara-negara yang belum pulih ini masih mengalami kontraksi, kemudian ditimpa lagi dengan adanya inflasi, maka situasi mereka menjadi semakin kompleks. Meskipun potensi resesi Indonesia 3%, jauh lebih rendah dari negara yang potensinya di atas 70%, ini tidak akan membuat pemerintah terlena, kita akan tetap waspada dan pesannya tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan, naik itu fiskal, moneter, sektor finansial, dan regulasi lainnya untuk memonitor situasi, termasuk kondisi dari korporasi Indonesia," pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)