"PMN itu bahkan tidak perlu, karena ini kan Business to Bussiness, konsorsium, kenapa ujungnya membebankan APBN juga, inilah yang disebut risiko kontijensi, dari Business menular kepada APBN, sehingga pemerintah harus ikut campur, padahal tidak perlu," jelasnya.
"Kereta cepat ini kan konsorsium KAI dengan BUMN China, dana itu saja sudah pakai utang ya, tapi utang kepada konsorsium, sekarang ketika ada biaya bengkak, maka ini seharusnya direnegosiasikan kembali, bukan utang kembali," lanjutnya.
Menurut Bhima pemerintah seharusnya cukup sebagai fasilitator kedua BUMN untuk bertemu dalam melakukan renegosiasikan maslaah pendanaan yang membengkak itu.
"Indonesia posisinya sedang butuh dana APBN, seharusnya tidak apa, pemerintah hanya fasilitasi renegosiasi," pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)