Polemik Wacana Kenaikan Harga BBM, Rakyat Langsung Teriak: Jangan Dulu Pak!

Tim Okezone, Jurnalis
Jum'at 26 Agustus 2022 12:04 WIB
Pertamina. (Foto: Okezone)
Share :

JAKARTA - Kabar soal rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi perhatian masyarakat.

Bahkan, banyak yang menilai rencana ini tidak tepat jika dilakukan saat ini.

Karena dapat berpotensi akan menciptakan efek domino yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kata pengamat ekonomi.

Dikutip BBC, pemerintah kini tengah merumuskan opsi terbaik terkait tingginya konsumsi dan harga minyak dunia.

 BACA JUGA:86% Pemakai BBM Subsidi Ternyata Orang Kaya, Sri Mulyani: Orang Miskin Nikmatinya Kecil

Terdapat tiga pilihan, yaitu menahan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga berpotensi menambah anggaran subsidi energi Rp198 triliun, mengendalikan volume konsumsi BBM, dan terakhir menaikkan harga BBM.

Bahkan, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sempat menyebut kalau Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemungkinan akan mengumumkan kenaikan harga BBM pekan depan (minggu ini).

Adapun Presiden Jokowi juga telah memerintahkan jajarannya untuk menghitung dengan rinci dampak yang akan muncul sebelum mengambil keputusan apakah menaikkan harga BBM atau tidak.

"Semuanya saya suruh hitung betul, hitung betul sebelum diputuskan," pintanya.

Presiden Jokowi mengingatkan untuk berhati-hati terhadap dampak yang akan timbul dari kenaikan harga Pertalite.

"Ini menyangkut hajat hidup orang banyak, jadi semuanya harus diputuskan secara hati-hati, dikalkulasi dampaknya, jangan sampai dampaknya menurunkan daya beli rakyat, menurunkan konsumsi rumah tangga," imbaunya.

Kemudian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan harga penugasan Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) berada di angka Rp7.650 per liter, sedangkan harga keekonomian Pertalite sebesar Rp13.150 per liter.

Sehingga ini menyebabkan selisih sekitar Rp6.000 per liter yang dikompensasikan oleh negara.

Sedangkan untuk untuk Solar dijual dengan harga Rp5.150 per liter, jauh lebih rendah dari harga keekonomian di atas Rp18.000 atau selisih sekitar Rp13.000 per liter yang disubsidi negara.

Masyarakat yang mendengar kabar ini mengaku kalau begitu khawatir.

Apalagi situasi Indonesia saat ini masih baru bangkit dari pandemi Covid-19 setelah dua tahun lamanya.

Salah satu sopir taksi di Jakarta bernama Anton (52) meminta agar pemerintah tak menaikkan harga BBM dulu.

“Kalau dalam ekonomi sekarang, dampak Covid masih sangat terasa. Jangan naik dulu (BBM) lah Pak,” katanya yang memiliki dua anak dan membutuhkan biaya besar, Kamis (25/8/2022).

Dia yang biasanya menyetor uang Rp50 ribu dan jika beruntung mencapai Rp150 ribu per hari kepada keluarga, tidak bisa membayangkan dampak yang akan muncul dari kenaikan BBM.

Dia menyebut kenaikan BBM akan berpotensi meningkatkan harga bahan pokok yang kini telah tinggi dan semakin menekan kehidupan sehari-hari mereka.

“Sekarang saja uang ke rumah kurang. Kalau naik lagi sekarang, semua (kebutuhan) akan melonjak semua Pak. Dan pendapatan juga akan menurun. Semakin sulit hidup ini,” jelasnya.

Setelah itu, Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkopas) Ngadiran, juga menolak tegas jika harga BBM dinaikan.

Kalau sudah BBM naik itu otomatis semua barang akan naik. Yang susah kan orang kecil, kalau orang besar dan buat keputusan tidak mikirin, memang dia pernah belanja ke pasar?” katanya.

“Orang kecil itu sekarang banyak pengangguran, pekerjaan susah, pendapatan susah, buat belanja susah, dan harganya mahal. Jangan tanya harga yang naik, memang ada yang turun?” tambahnya.

Dia memberi contoh jika selama hidup harga telur tidak pernah lebih dari Rp30.000/kg. Namun sekarang, katanya, ada yang mencapai Rp34.000, padahal harga rata-rata di kisaran Rp20.000-an.

“Harapan saya, jangan dinaikkan kalau kasihan sama rakyat. Kecuali mau menginjak rakyat,” bebernya.

Lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan ingkat konsumsi BBM hingga akhir tahun berpotensi mencapai 29 juta kiloliter, meningkat tajam dari yang disepakati sebesar 23 juta kiloliter.

Di mana sampai Juli 2022, konsumsi Pertalite telah mencapai 16,8 juta kiloliter, artinya hanya tersisa 6,2 juta kiloliter hingga akhir tahun.

Dia juga mengungkapkan kebutuhan Solar mencapai 17,5 juta kiloliter dari kuota sebesar 15 juta kiloliter.

Serta anggaran subsidi diprediksi meningkat Rp198 triliun, dari sebelumnya Rp502,4 triliun, terdiri dari subsidi energi Rp208,9 triliun dan kompensisi energi Rp293,5 triliun menjadi hampir Rp700 triliun.

Jumlah tersebut untuk memenuhi kebutuhan Pertalite, Solar, liquid petroleum gas (LPG) tiga kilogram dan listrik.

Peningkatan subsidi terjadi karena harga minyak dunia sepanjang tahun 2022 berada di atas USD100 per barel jauh di atas perkiraan APBN 2022 sebesar USD63 per barel.

Dia menyatakan tiga opsi yang tengah dipertimbangkan pemerintah, yaitu menaikan harga BBM, membatasi jumlah konsumsi dan tetap mempertahankan harga.

Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE), Mohammad Faisal mengatakan, opsi kenaikan harga BBM akan menciptakan efek domino yang buruk bagi masyarakat.

“Pertama, tanpa kenaikan saja inflasi tahun ini diprediksi 5-6%. Jika BBM naik, apalagi sampai 30% maka inflasi bisa mencapai 8%,” ucapnya.

Dia menjabarkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi mencapai 4,94% pada Juli 2022, tertinggi sejak Oktober 2015 lalu.

Bahkan, harga pangan yang kini telah meningkat tajam akan kembali terbang bebas.

Inflasi harga pangan dari maksimal 6% hingga Juli 2022 telah meningkat sebesar 11,47%, angka tertinggi sejak tahun 2014.

“Jika BBM naik, inflasi pangan akan terbang menjadi 15%. Itu akan berpengaruh besar bagi kalangan menengah bawah,” cetusnya.

Menurutnya, ini meningkatkan jumlah kemiskinan, dan melebarkan kesenjangan ekonommi.

Efek lainnya adalah penurunan konsumsi atau daya lebih masyarakat yang belum pulih akibat hantaman pandemi Covid-19.

“Saat ini pendapatan masyarakat masih lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi, sementara inflasinya sudah jauh lebih tinggi. Sudah pasti pendapatan riil-nya turun dan akan mempengaruhi daya beli konsumsi,” katanya.

Rencana kenaikan BBM juga, ujar Faisal, telah berpengaruh kepada kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia, sebesar 25 basis poin menjadi 3,75%,

“Peningkatan BI ini berdampak ke bank komersil, terutama kredit yang menjadi lebih mahal sehingga penyaluran kredit ke sektor riil akan terhambat," tambahnya.

Untuk defisit APBN 2022 kini berada di angka Rp732,2 triliun atau 3,92% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sementara target defisit pemerintah berada di angka 4,5% atau Rp840,2 trilun dari PDB.

“Jika bertambah Rp198 triliun berarti penambahan sekitar 0,6%. Jadi masih di kisaran 4,5% terhadap PDB, seusai target pemerintah. Masih dalam batas target dan gap yang tidak besar.

Jadi, kalau dipikir dengan akal sehat, mana yang lebih berat? Menurut saya dampak ke ekonomi jika BBM naik akan sangat buruk, sementara bagi APBN tidak terlalu berpengaruh signifikan,” jelasnya lagi.

Jadi kalau dilihat semua resikonya terhadap ekonomi dan APBN, mestinya tidak dinaikan dulu tahun ini. Memang bertambah subsidinya, tapi bisa diminimalisir dengan pengendalian penggunaan dimana hanya kalangan tertentu yang berhak dapat subsidi,” lanjutnya.

Anggota Komisi VII DPR Fraksi PKS Mulyanto juga turut bersuara dengan mengatakan pembatasan dan peningkatan pengawasan distribusi BBM merupakan pilihan terbaik dibandingkan menaikkan harga.

Dia meminta pembatasan BBM bersubsidi dilakukan untuk kendaraan selain roda dua, kendaraan umum dan pengangkut barang.

“Hasil simulasi ini menunjukkan, pemerintah dapat mereduksi anggaran subsidi hingga 69%,” pungkasnya.

(Zuhirna Wulan Dilla)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya