JAKARTA - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) untuk pertama kalinya mendapat pendapatan dari hasil perdagangan karbon. Hal tersebut juga menjadi komitmen perusahaan untuk turut secara aktif melakukan transisi energy.
“Untuk pertama kalinya pada 2022, Pertamina Geothermal Energy (PGE) mencatatkan pos pendapatan baru dari penjualan carbon credit. Ini membuktikan bahwa operasional PGE telah mendapatkan sertifikasi dari berbagai lembaga karbon kredit sehingga PGE berhak untuk memonetisasi atas penjualan karbon kredit dari operasional PGE,” ujar Direktur Keuangan PGE Nelwin Aldriansyah, Senin (20/3/2023).
Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat perdagangan karbon di Indonesia dapat menembus USD300 miliar atau sekitar Rp4.625 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp15.418 per USD) per tahun. Ini berasal dari kegiatan menanam kembali hutan yang gundul hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga sudah resmi meluncurkan perdagangan karbon, di mana mulai 2023, perdagangan karbon dilakukan di subsector pembangkit tenaga listrik secara mandatory.
Perdagangan karbon dilakukan pada unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Perdagangan karbon itu sendiri diimplementasikan melalui 2 mekanisme, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi.
Sejumlah strategi dan upaya monetisasi terus dilakukan PGEO untuk mengawal kinerja keuangan tetap solid dengan misalnya menjaga pendapatan, EBITDA margin maupun profit margin yang stabil hingga rasio utang yang terjaga.
Pada kuartal III-2022, Pertamina Geothermal Energy membukukan laba bersih sebesar USD111 juta, tumbuh 67,8% dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD66 juta.
“Net profit margin pada sembilan bulan pertama 2022 mencapai 38,8%, dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang hanya 24%,” ujar Nelwin