JAKARTA - Dokter Tirta mengkritisi kepastian mandatory spending APBN sebesar 5% untuk anggaran kesehatan. Dirinya menilai mandatory spending tetap ada kepastian 5% sesuai WHO, atau 10% sesuai penelitian terkini.
Dokter Tirta juga menyoroti rumitnya program pada Puskesmas. Jika dijadikan satu maka proses evaluasi program tersebut tentu harus ada auditor untuk menerima program.
Tirta kemudian mempertanyakan keberadaan trial contoh untuk rencana induk kesehatan dan berapa persen untuk slack time-nya.
Dia khawatir jika tidak ada kepastian nilai maksimal mandatory budget dalam anggaran kesehatan, bisa-bisa program melebihi batas maksimal budget, dan bisa rentan "markup". Auditor pun dikhawatirkan bekerja dua kali, yakni untuk audit program dan penyerapan anggaran.
Merespon hal tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menegaskan bahwa anggaran kesehatan selalu menjadi prioritas pemerintah.
"Saat ini sesuai UU Nomor 39 Tahun 2009, pemerintah selalu menyediakan alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN, namun besaran alokasinya berfluktuasi sesuai dengan kebutuhan penganggaran kesehatan dalam APBN," ujar Yustinus melalui akun Twitter resminya @prastow dikutip di Jakarta, Kamis (29/6/2023).
Dia mengakui penelitian dan kajian yang dirujuk dr. Tirta itu benar adanya.
"Justru problem kita di level itu, dengan perencanaan program yang lebih baik, anggaran yang disediakan pun output/outcomenya lebih optimal. Ini ikhtiar di RUU Kesehatan," ungkap Yustinus.
Secara ideal, sebut dia, penganggaran dimulai dari program, kegiatan, rencana output dan outcome yang diharapkan, baru disediakan berapa dana untuk mencapai tujuan program tersebut.
"Money follow program, bukan dibalik. Ini yang mesti kita jadikan prinsip," terang Yustinus.
Dia mengatakan, pengalokasian anggaran sesuai dengan penerapan anggaran berbasis kinerja sejalan dengan PP Nomor 6 tahun 2023. Ditentukan terlebih dahulu rencana kinerja yang akan dicapai, baru kemudian pengalokasian anggarannya.
"Ini masalah pada kualitas program dan kegiatan. Meski dananya besar tapi kualitas program dan kegiatannya tidak baik, anggaran besar pun dapat diisi dengan mayoritas belanja birokrasi atau item pengeluaran lain yang tidak menunjang capaian program dan kegiatan secara langsung, the Devil's in the Details," jelas Yustinus.
Dia menyebut, Rencana Induk Bidang Kesehatan itu pada aspek perencanaan, bukan pada aspek pelaksanaan apalagi evaluasi. Penyusunan Rencana Induk Kesehatan wewenang pemerintah, jadi tidak perlu menunggu auditor untuk menyetujui programnya.
"Mestinya tidak ada kaitannya dengan slack time yang Anda khawatirkan," ucap Yustinus.
Rencana Induk Bidang Kesehatan memiliki beberapa fungsi, Pertama, sebagai instrumen/panduan untuk mencapai target pembangunan kesehatan dan meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakatIntegrasi pendanaan dan kesehatan pasat dan daerah agar anggaran tepat sasaran, dengan penentuan alokasi anggaran yang dilakukan berbasis kinerja yang disertai dengan penguatan perencanaan, informasi biaya serta kapasitas sumber daya yang memadai.
Rencana induk bidang kesehatan sebagai instrumen yang menggunakan sistem penganggaran berbasis kinerja untuk mendukung pencapaian target pembangunan kesehatan, meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat diantaranya melalui pemberian kemudahan akses terhadap fasilitas layanan, dan melakukan penguatan kapasitas sumber daya kesehatan yang diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan sumber daya kesehatan.
"Kita semua tentu berharap bahwa anggaran kesehatan semakin memberikan manfaat bagi rakyat dan sesuai kebutuhan berdasarkan program yang sudah ada. Reformasi yang dilakukan adalah upaya perbaikan komprehensif dari hulu (perencanaan) hingga hilir (implementasi)," tandas Yustinus.
(Feby Novalius)