JAKARTA - Wall Street pekan depan akan dibayangi sikap hawkish dari Federal Reserve, melonjaknya imbal hasil (yield) Treasury, dan penutupan pemerintahan (government shutdown).
Sehingga akan semakin menambah serangkaian risiko yang telah menakuti investor dan mengaburkan prospek ekuitas AS.
Mengutip Reuters, Minggu (24/9/2023) waktu setempat, saham-saham AS telah merosot lebih dari 6% dari nilai tertingginya di akhir bulan Juli, dan minggu terakhir ini merupakan minggu yang sangat menegangkan bagi para investor.
The Fed memproyeksikan akan mempertahankan suku bunga pada tingkat yang lebih tinggi lebih lama dari perkiraan, sehingga memicu aksi jual saham dan obligasi AS.
Indeks S&P 500 (SPX) anjlok 2,9% minggu ini, penurunan mingguan terbesar sejak Maret. Data dari penelitian BoFA Global menunjukkan bahwa investor menjual ekuitas global pada tingkat tercepat tahun ini, dengan jumlah bersih USD16,9 miliar yang keluar dari saham dalam sepekan hingga Rabu. Indeks ini naik 12,8% year-to-date.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun, yang bergerak berbanding terbalik dengan harga, mendekati level tertinggi dalam 16 tahun. Imbal hasil Treasury yang tinggi mengurangi daya tarik saham dengan menawarkan investor pembayaran menarik atas investasi yang dianggap bebas risiko.
Pelaku pasar juga bergulat dengan beberapa potensi ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi AS, yang ketahanannya pada tahun ini telah membantu mendorong saham-saham lebih tinggi.
Adapun yang paling utama adalah tantangan yang ditimbulkan oleh suku bunga yang lebih tinggi, jika The Fed menepati janjinya untuk menjaga biaya pinjaman tetap tinggi seiring dengan upayanya untuk secara tegas membalikkan laju inflasi.
Risiko lainnya termasuk tingginya harga minyak, dimulainya kembali pembayaran pinjaman mahasiswa pada bulan Oktober, dan penutupan pemerintah yang akan dimulai jika anggota parlemen tidak dapat meloloskan anggaran pada tanggal 30 September.