JAKARTA - Pemerintah melakukan terminasi atau mengembalikan 50 kontrak kerja sama blok minyak dan gas bumi (migas) ke negara. 11 blok di antaranya berasal dari blok migas non konvensional (MNK) atau dikenal sebagai Shale Gas maupun Coalbed Methane (CBM) yang telah lama dikembangkan.
"Dari 50 blok terminasi, sebetulnya ada 11 unconvensional atau minyak non konvensional yang kita kenal dengan shale gas oil atau yang sekarang lebih banyak itu sebenarnya yang Coal bed Methane (CBM) yang sudah lama dikembangkan," tutur Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, Kamis (19/10/2023).
Pemanfaatan shale gas oil memerlukan teknologi khusus berupa seperti fracking atau fracturing, yang mahal dan menimbulkan risiko. Namun komoditas minyak ini yang membuat Amerika Serikat berubah dari importir minyak terbesar menjadi eksportir.
CBM atau gas metana sendiri merupakan sumber energi yang efisien dan bersih yang tersebar di Indonesia dan prospek untuk dikembangkan secara ekonomis. Nilai kalor metana murni adalah 35,9 MJ/m3, yang setara dengan nilai kalor dari 1,2 kg batubara standar, sehingga manfaat dari sumber energi CBM digunakan tidak hanya mengurangi risiko produksi batubara, tetapi juga memperoleh energi bersih dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Tutuka menambahkan, sebanyak 11 WK migas non-konvensional yang dikembalikan ke negara sebenarnya telah dikembangkan sejak lama. Namun dia menganggap kurang prospektif untuk dilanjutkan ke tahap operasi.
"Sudah lama dikembangkan, tetapi ternyata banyak yang kurang prospektif, sehingga tidak dilanjutkan," tambahnya.