JAKARTA - Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 yang diumumkan para gubernur pada 21 November 2023 menyisakan polemik. Besaran kenaikan UMP 2024 tidak sejalan dengan keinginan para buruh.
Buruh meminta kenaikan UMP 2024 mencapai 15%, tetapi realisasi di lapangan nol besar.
Persentase kenaikan UMP 2024 tertinggi hanya 7,5%, itu pun berlaku di Maluku Utara. Persentase kenaikan UMP 2024 terendah 1,19% di Gorontalo.
Sementara, untuk besaran nominal UMP 2024 tertinggi masih pegang di DKI Jakarta, meski kenaikan UMP DKI Jakarta 2024 hanya 3,38% menjadi Rp5.067.381 dari sebelumnya Rp4,9 juta.
Dari data terakhir Kementerian Ketenagakerjaan, sudah 34 provinsi menetapkan UMP 2024, sementara 4 provinsi belum mengumumkan. Nantinya penetapan UMP ini akan berlaku mulai Januari 2024.
Keputusan UMP 2024 sudah bisa dikatakan final meski buruh kecewa berat dan akan melakukan mogok kerja nasional.
Sebab penetapan UMP 2024 oleh masing-masing gubernur ini merupakan hasil kesepakatan dewan pengupahan daerah, sehingga di dalamnya termasuk kesepakatan Serikat Pekerja (SP), pengusaha, pemerintah, dan akademisi.
Perlu diingat, kenaikan UMP ini hanya berlaku untuk pekerja dengan masa kerja di bawah 1 tahun. Sedangkan untuk pekerja yang punya masa kerja di atas 1 tahun diberlakukan struktur skala upah, artinya kenaikan upah dihitung dari masa kerja. Bahkan, pekerja dengan masa di atas 1 tahun harus mendapatkan gaji lebih besar dari UMP.
Penetapan UMP 2024 didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Harapannya dengan formula yang telah diaturnya dalam PP tersebut bisa mengakomodir kepentingan buruh dan pengusaha dalam sengketa kenaikan upah.
Dalam PP 51/2023 setidaknya mengatur 3 variabel untuk menghitung kenaikan UMP seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu sebagai yang mewakili kontribusi sektor ketenegakerjaan terhadap pertumbuhan ekonomi yang diwakili oleh alpha 0,1-0,3.