JAKARTA — Pemerintah dan DPR dinilai perlu mencermati urgensi skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Enrgi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Pasalnya bila tidak jelas dan berisiko merugikan negara.
“Urgensi skema power wheeling yang masuk dalam pembahasan RUU EBET ini harus dijelaskan dan dicermati betul karena sangat berisiko berdampak buruk bagi negara,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, Senin (8/4/2024).
Sampai saat ini baik pemerintah maupun DPR sama sekali belum mengungkap secara gamblang alasan terkait dengan skema power wheeling.
“Pasal power wheeling ini seperti siluman, kadang muncul, kadang tenggelam. Pun tidak jelas rupa dan tujuannya. Untuk itu, kita akan mengawal kebijakan ini,” katanya.
Menurutnya, power wheeling merupakan sistem yang sangat liberal dan berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 harus dikuasai oleh negara.
“MK sudah melegitimasi itu dengan membatalkan skema unbundling dalam UU Ketenagalistrikan,” ujarnya.
Menurutnya, skema power wheeling merupakan mekanisme liberal yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung.
“Dan ini berisiko teknis dalam implementasinya. Karena EBET memiliki sifat intermiten yang berisiko menggangu keandalan listrik negara,” ujarnya.
Desakan untuk memasukkan power wheeling sebagai insentif ini juga tidak beralasan karena sesungguhnya pemerintah sudah menunjukkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030.
Dalam RUPTL, yang seringkali diklaim sebagai green RUPTL itu, sebetulnya sudah ada peningkatan porsi EBET yang signifikan.
“Bahkan ada tambahan EBET itu 20,9 gigawatt, di mana 56,3% nya itu adalah porsi swasta," ujarnya.
Dengan sudah adanya porsi swasta pada roadmap tersebut, paparnya, sebetulnya sudah cukup menjadi keyakinan investor bahwa memang negara punya arah yang cukup jelas untuk mendorong bauran suplai listrik dari EBET.
“Pada sisi suplai, sepertinya negara sudah membuka ruang yang cukup lebar terhadap peran swasta. Saat ini yang bermasalah justru sisi demand atau permintaan yang masih sangat kecil,” ujarnya.
(Feby Novalius)