Selain itu, keputusan The Fed memicu arus modal keluar dan berkontribusi pada depresiasi rupiah sebesar 2,79% (mtm) antara pertengahan Mei dan pertengahan Juni. Adapun rupiah terdepresiasi sebesar 2,79% (mtm) antara pertengahan Mei dan pertengahan Juni, mencapai level terendah sejak April 2020, terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS.
Antara pertengahan Mei dan pertengahan Juni, Rupiah terdepresiasi sebesar 2,79% secara bulanan, turun dari Rp15.950 per USD pada 17 Mei menjadi Rp16.395 per USD pada 14 Juni. Angka ini menandai level terendah sejak April 2020, saat awal pandemi Covid-19. Pelemahan Rupiah terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS, yang telah berdampak pada mata uang global.
Tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia; beberapa mata uang Asia lainnya juga menunjukkan pola depresiasi yang serupa. Baht Thailand, Ringgit Malaysia, dan Won Korea Selatan, misalnya, semuanya terdepresiasi terhadap dollar AS pada periode yang sama.
Secara year-to-date, Rupiah telah terdepresiasi sebesar 7,07% (ytd), menunjukkan kinerja yang moderat dibandingkan dengan mata uang lainnya. Terlepas dari tantangan tersebut, cadangan devisa Indonesia mengalami peningkatan sebesar USD2,8 miliar, naik dari USD136,2 miliar pada April 2024 menjadi USD138,97 miliar pada Mei 2024.
Meskipun demikian, peningkatan cadangan devisa pada Mei 2024 memberikan penyangga terhadap tekanan nilai tukar. Strategi triple intervention BI diharapkan dapat membantu mengelola volatilitas Rupiah.
"Kami melihat bahwa BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya di 6,25%," pungkasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)