"Selama ini kita meyakini, kalau melihat fundamental kita, (nilai tukar Rupiah) bisa lebih rendah dari Rp16 ribu. Inflasi kita rendah 2,8% dibandingkan Amerika Serikat (AS) yang tinggi, negara-negara lain juga tinggi," ungkap Perry.
Yang kedua, tambah Perry, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 5,1% juga relatif baik. Demikian juga current account masih surplus, dimana tahun ini defisitnya rendah 0,1-0,9% dari PDB. Imbal hasil juga menarik.
"Tapi itu kan faktor fundamental yang akan memengaruhi tren, sehingga kami masih meyakini tren nilai tukar Rupiah ke depan akan menguat dengan kemungkinan juga FFR akan turun akhir tahun ini, inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi RI yang relatif baik, serta transaksi berjalan yang bagus dan imbal hasil yang menarik," jelasnya.
Perry menjelaskan bahwa dari bulan ke bulan, faktor sentimen seperti premi risiko, ketidakpastian, itu adalah faktor-faktor yang tidak mempengaruhi tren, tetapi naik turunnya nilai tukar.
"Seperti yang sudah ditakar 2 bulan lalu, kalau saja tidak ada ketegangan geopolitik dan ketidakpastian FFR, mestinya kita tidak perlu menaikkan BI rate, bahkan di saat itu saya sudah mengatakan bahwa ada ruang untuk penurunan BI rate," ungkap Perry.
Perry mengatakan bahwa pihaknya sudah bersabar karena ada ketidakpastian pasar keuangan global, sehingga tempo hari BI sempat menaikkan BI rate 25 bps dan suku bunga SRBI. Apa yang terjadi? Imbal hasil kita meningkat, SRBI kembali masuk, yang pada bulan Mei masuk Rp80,29 triliun SRBI, kemudian di Juni masuk sebesar Rp17,83 triliun, ini data transaksinya," pungkas Perry.
(Taufik Fajar)