JAKARTA — Amerika Serikat (AS) mencetak 500.000 orang kaya baru di tahun ini. Angka ini berbeda jauh dibanding jumlah milyuner yang dicetak negara-negara lain.
Melansir dari CNBC International, Rabu (26/6/2024) Capgemini merilis laporan populasi miliarder di Amerika Serikat tumbuh 7,3% di 2023 menjadi 7,43 juta orang. Total kekayaan gabungan mereka meningkat menjadi USD25,1 triliun, naik 7% dari tahun 2022.
Capgemini mendefinisikan milyuner sebagai orang-orang yang memiliki aset yang dapat diinvestasikan sebesar USD1 juta atau lebih. Dengan syarat nominal tersebut di luar dari tempat tinggal utama, barang koleksi, atau barang tahan lama konsumen.
Meskipun suku bunga tetap tinggi, rebound pasar saham pada akhir 2023 serta perpaduan antara pengeluaran pemerintah yang mencapai triliunan dolar dan stimulus menjadi mesin yang terus mendongkrak kekayaan di Amerika Serikat.
Orang-orang yang berada di puncak piramida kekayaan juga menunjukkan pertumbuhan aset yang sangat pesat. Jumlah orang Amerika dengan kekayaan USD30 juta atau lebih meningkat 7,5% pada 2024 hingga tembus 90.700 orang sementara total kekayaan mereka meledak hingga USD7,4 triliun atau setara dengan.
Jika dilihat dari skala global, individu dengan kekayaan bersih sangat tinggi (Ultra High Networth Individual) hanya mencakup 1% dari populasi para miliarder, namun mereka kini menguasai 34% dari total kekayaan kelompok tersebut.
Fenomena meledaknya jumlah miliarder ini sebagian besar didorong oleh suku bunga yang rendah serta likuiditas dan mendapat stimulus dari kehadiran kecerdasan buatan (AI) di industri ini. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar, apakah lonjakan jumlah miliarder ini akan terus berlanjut?
Global Head of the Capgemini Research Institute for Financial Services Elias Ghanem menyatakan bahwa beberapa hal dapat menghambat lajunya penciptaan miliarder ini seperti konflik global, pemilihan umum, suku bunga, serta potensi terjadinya perlambatan ekonomi.
“10 tahun belakangan merupakan sebuah pengecualian. Kita saat ini dihadapi oleh inflasi, potensi terjadinya resesi, gejolak geopolitik, serta pemilihan umum. Lingkungannya kini sudah beda,” ujar Ghanem.