Periskop 2025: PPN 12% untuk Barang Mewah, Perburuan Pajak Dimulai

Taufik Fajar, Jurnalis
Minggu 12 Januari 2025 10:27 WIB
Periskop PPN 12% di 2025 (Foto: Okezone)
Share :

JAKARTA - Pemerintah memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% untuk barang mewah yang berlaku penuh pada 1 Februari 2025 sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. 

Sementara, barang dan jasa lainnya tetap dikenakan PPN 11% alias tidak naik. Tidak hanya itu, pemerintah tetap juga membebaskan PPN 0% untuk kebutuhan barang pokok yang sudah diberlakukan sebelumnya.

Atas kebijakan PPN 12% untuk barang mewah, pemerintah juga memberikan stimulus paket kebijakan ekonomi, salah satunya diskon tarif listrik 50% untuk empat golongan, yang dimulai Januari 2025 hingga Februari 2025.

Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025.


PPN 12% Hanya Barang Jasa dan Mewah


Prabowo mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN tersebut hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah.


"Karena itu seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya dan telah berkoordinasi dengan DPR RI hari ini pemerintah memutuskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah," kata Prabowo dalam jumpa pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta.


"Ya saya ulangi secara jelas kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah," sambungnya.
Penetapan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.


Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Sementara itu, barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%.


Kebutuhan Pokok dan Bansos


Presiden Prabowo Subianto menegaskan, kebutuhan pokok tidak akan dikenakan kenaikan PPN 12%. PPN 12% hanya dikenakan untuk barang mewah seperti jet pribadi hingga rumah mewah. 


"Untuk barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang selama ini diberi fasilitas pembebasan atau dikenakan tarif PPN 0% masih tetap berlaku," tegas Prabowo dalam jumpa pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta.


Prabowo menekankan bahwa kebutuhan pokok akan tetap dikenakan tarif PPN nol persen seperti yang berlaku sebelumnya. Hal tersebut juga berlaku pada jasa pendidikan, kesehatan hingga air minum.


"Untuk barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, yang tetap diberi pembebasan PPN, yaitu tarif 0%, antara lain kebutuhan pokok beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, rumah sederhana, air minum," jelasnya.


Pemerintah, kata Prabowo, telah berkomitmen memberi paket stimulus sebesar Rp38,6 triliun. Dengan rincian bantuan beras hingga diskon listrik.

"Seperti yang pernah diumumkan sebelumnya. Bantuan beras untuk 16 juta penerima bantuan pangan 10 kg per bulan. Diskon 50% untuk pelanggan listrik dengan daya maksimal 2.200 volt. Pembiayaan industri padat karya, insentif PPh pasal 21 bagi pekerja dengan gaji sampai dengan rupiah 10 juta per bulan, kemudian bebas PPh bagi UMKM beromzet kurang dari Rp500 juta per tahun dan sebagainya. Paket stimulus ini nilainya semua adalah Rp38,6 triliun," ungkapnya.

 


Barang Mewah PPN 12%


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerangkan barang atau jasa yang sebelumnya tidak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% maka tetap 0%. 


Dirinya pun mengklarifikasi barang seperti daging wagyu berbeda dengan pajak yang sudah terkena PPnBM yaitu barang mewah.
Presiden Prabowo Subianto sudah menekankan barang seperti private jet, kapal pesiar yacht dan rumah mewah yang sangat mewah justru terkena PPN 12%. 


“(Daging wagyu) Yang selama ini dapat 0% tetap 0%,” tegas Sri Mulyani.


Menurut Sri Mulyani, nilai barang mewah sudah diatur dalam PMK PPN barang mewah, Nomor 15/2023. Mengenai barang-barang yang dikategorikan mewah dan selama ini terkena PPnBM. 


“Artinya, yang disampaikan Bapak Presiden, untuk barang dan jasa lainnya yang selama ini terkena 11% tidak mengalami kenaikan PPN menjadi 12%. Jadi tetap 11% seluruh barang.


Tak Kena PPN 


Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa sampo, sabun hingga daging wagyu tidak kena PPN 12%. Namun barang tersebut tetap kena PPN 11% 


"Jadi mulai shampoo, sabun, dan segala macam yang sudah sering di media sosial itu sebenarnya tetap tidak ada kenaikan PPN,” katanya
Sri Mulyani pun merincikan barang atau jasa yang kena PPN 12% di 2025. 


1. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp30 miliar atau lebih.
2. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, dan pesawat udara lainnya tanpa sistem tenaga penggerak.
3. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya kecuali untuk keperluan negara. Termasuk peluru dan bagiannya, namun tidak termasuk peluru senapan angin.
4. Kelompok pesawat udara selain yang dikenakan tarif 40 persen kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga. Kelompok itu mencakup helikopter, pesawat udara dan kendaraan udara lainnya.
5. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya kecuali untuk keperluan negara. Kategori senjata api termasuk senjata artileri, revolver dan pistol.
6. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum. Yang dimaksud kapal pesiar meliputi kapal ekskursi dan kendaraan air yang dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri dari semua jenis kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
Kemudian yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum atau usaha pariwisata.


“Jadi itu saja yang kena 12%, yang lainnya, yang selama ini sudah 11% tidak ada kenaikan," ujar Sri Mulyani. 


Di luar kategori barang dan jasa mewah tersebut, Bendahara Negara menyebutkan tarif PPN masih tetap di angka 11%. Sementara itu, khusus untuk bahan-bahan pokok, Pemerintah membebaskan tarif PPN.

 


Berpotensi Hilang Rp75 Triliun


Penerimaan perpajakan dari pajak pertambahan nilai (PPN) berpotensi hilang Rp75 triliun. Hal tersebut akibat penundaan kenaikan tarif PPN 12% untuk barang dan jasa umum.


Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan, pihaknya bakal mencari sumber-sumber penerimaan lain, salah satunya melalui strategi ekstensifikasi dan intensifikasi.


"Karena (pembatalan PPN 12% untuk semua barang dan jasa) otomatis ada sesuatu yang hilang, yang kita gak dapatkan. Ya, kita mencari optimalisasi di sisi yang lain, di antaranya ada ekstensifikasi dan intensifikasi," kata Suryo dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan.


Menurut Suryo, ekstensifikasi akan menjadi fokus utama pada tahun 2025 untuk menggali potensi penerimaan pajak. "Ekstensifikasi bagi saya merupakan sesuatu yang harus saya jalankan di tahun 2025," imbuhnya.


Potensi pendapatan Rp75 triliun sempat diungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu. Ia mengatakan pendapatan sebesar itu bakal dikantongi negara andai kenaikan PPN 12 persen diberlakukan secara umum.
"(Potensi penerimaan PPN 12%) sekitar Rp 75 triliun dari PPN-nya,” ungkap Febrio.


Angka serupa juga dipakai Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Ia bahkan sudah menghitung potensi penerimaan dari skema PPN 12% hanya untuk barang mewah bakal lebih kecil.


Biaya QRIS


Menteri Koordinator Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pengguna QRIS, baik di Indonesia maupun di negara lain yang telah menerapkan sistem pembayaran digital ini, tidak akan dibebani PPN sebesar 12%.


Berikut penjelasan terkait benarkah biaya admin QRIS kena PPN 12% per Januari 2025 yang sudah dirangkum dari beberapa sumber.


Kementerian Keuangan menegaskan transaksi jual beli masyarakat melalui QRIS dan sejenisnya tidak menimbulkan beban PPN tambahan untuk customer. 


"QRIS adalah media pembayaran antara merchant (penjual) dan customer (pembeli) sesuai nilai transaksi perdagangan, memanfaatkan teknologi finansial (fintech) yang semakin memudahkan transaksi," tulis Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu. 


PPN memang dikenakan atas transaksi yang memanfaatkan fintech, QRIS salah satunya.


"Namun, beban PPN atas transaksi via QRIS sepenuhnya ditanggung merchant, berjalan sejak tahun 2022 melalui PMK 69 Tahun 2022," imbuh Febrio.


Hal terakhir yang perlu diketahui adalah dengan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%, tidak ada tambahan beban bagi customer yang bertransaksi via QRIS.

 


Pengusaha Terapkan PPN 12%


Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu memberikan waktu bagi pelaku usaha, yang telanjur menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12%, untuk menyesuaikan sistem. Sebagaimana diketahui, Presiden Prabowo menegaskan PPN 12% tidak berlaku untuk semua barang dan jasa hanya diterapkan pada barang mewah.


Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan telah bertemu dengan pelaku usaha dari kalangan ritel, yang mana mereka mengaku membutuhkan waktu untuk mengubah sistem terkait PPN.


"Kami duduk berdiskusi. Kira-kira transisi sekitar tiga bulan bagi para pihak untuk menyesuaikan sistemnya," kata Suryo.


Dia berharap output yang dihasilkan oleh pelaku bisnis nantinya menjadi lebih representatif. Misalnya, dalam faktur yang diterbitkan, terlihat dengan jelas dasar pengenaan pajak, konversinya, tarif yang digunakan, hingga nilai yang dihitung.


Bersamaan dengan itu, Suryo juga akan mengevaluasi sistem DJP, apakah perlu ada perbaikan atau tidak, sehingga proses transisi dapat berjalan lancar.


"Ini yang terus akan kami kalibrasi. Kami juga harus berbicara dengan banyak pihak, karena dalam ekosistem perpajakan bukan hanya kami sendiri sebagai administrator perpajakan. Ada pihak lain, termasuk wajib pajak yang menjadi konsumen PPN," ujar Suryo.

Respon Pengusaha


Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin memastikan tidak ada anggotanya yang mengubah sistem tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

"Saya sudah cek semua yang bergabung di Aprindo tidak ada yang nge-set (setting/mengatur) jadi 12 persen. Ritel yang saya punya jumlahnya sampai 20 ribu, tapi tidak ada yang set 12 persen," ujar Solihin dikutip.

Solihin menyampaikan, sebelum Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen, khusus terhadap barang dan jasa mewah yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025, para peritel memang sudah melakukan persiapan untuk perubahan harga.

Setelah pengumuman dibacakan, kata Solihin lagi, anggota Aprindo tetap mengikuti sistem pengaturan yang lama karena tidak ada perubahan.

Menurutnya, para peritel selalu patuh terhadap peraturan yang berlaku, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang tarif PPN 12 persen hanya dikenakan terhadap barang mewah.

"Kami memang sudah menyiapkan price tag tapi tidak terpakai. Jadi kita mengikuti apa yang disampaikan ke pemerintah, jadi kalau menemukan peritel anggota Aprindo yang menaikkan harga, bisa laporkan ke saya," kata Solihin.

Beberapa masyarakat di media sosial masih melaporkan adanya kenaikan harga di berbagai peritel, bahkan untuk barang-barang yang tidak termasuk dalam kategori mewah pasca tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

Melalui berbagai platform media sosial X @tanyarlfes, banyak konsumen mengeluhkan kenaikan harga yang mereka alami saat berbelanja. Beberapa warganet melaporkan bahwa harga barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti makanan dan minuman, juga ikut naik.


Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, pihaknya memastikan akan mengembalikan uang wajib pajak yang sudah terlanjur membayar PPN 12 persen. Namun, saat ini Kemenkeu tengah menyiapkan skema untuk mengatur pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut.


"Ini yang lagi kita atur transisinya seperti apa. Namun prinsipnya kalau sudah kelebihan dipungut perlu dikembalikan,"  ujar Suryo dalam media briefing DJP.


Menurut Suryo, cara mengembalikan kelebihan pungutan pajak dapat bermacam-macam, baik melalui pengembalian langsung kepada wajib pajak atau membetulkan faktur pajak. DJP Kemenkeu pun mengaku sudah bertemu dengan pengusaha, khususnya peritel, guna melihat kondisi nyata di lapangan.


Hasilnya, ada beberapa peritel yang sudah menggunakan tarif PPN 12 persen dengan dasar pengenaan nilai lain 11/12 seperti yang diharapkan.
"Jadi ternyata mix (ada yang pakai tarif 11 persen dan 12 persen), makanya kami mencoba mendudukkan aturan termasuk juga nanti pada waktu penerbitan faktur pajaknya," kata Suryo.

PPN 12% untuk Barang Mewah, Negara Raup Rp3,5 Triliun 


Pemerintah meraup penerimaan negara Rp3,5 triliun berkat penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang dan jasa mewah. Berdasarkan hitungan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan penerapan PPN 12% dapat menambah penerimaan negara Rp1,5 triliun hingga Rp3,5 triliun.

Potensi itu didasarkan pada perhitungan DJP bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

"Kalau hitung-hitungan kami dengan Pak Febrio (Kepala BKF) kemarin ya range-nya sekitar Rp1,5 triliun sampai dengan Rp3,5 triliun," ujar Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo.


Diketahui, untuk 2025 pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun, atau tumbuh 13,9% dari outlook 2024.
Untuk mencapainya, Suryo mengatakan, pemerintah bakal terus memperluas basis pajak. Strategi tersebut mencakup intensifikasi dan ekstensifikasi pajak guna meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan.

"Ini yang terus kami juga jalankan, termasuk juga kami melakukan kerja sama dengan Pak Askolani (DJBC) dengan Pak Isa (DJA), juga dengan beberapa pihak di luar kami. Kami pun juga melakukan kerja sama untuk paling tidak mencari sumber-sumber (penerimaan) baru yang belum ke-cover selama ini atau mungkin kurang kami cover dalam langkah intensifikasi yang kami lakukan," katanya.


Adapun penerapan PPN sebesar 12% untuk barang dan jasa mewah merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Barang dan jasa yang masuk dalam kategori mewah telah diatur secara rinci dalam peraturan tersebut.

 


Kripto Kena PPN 12%


Transaksi pembelian aset kripto kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. Penyesuaian tarif PPN ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 dan PMK Nomor 81 Tahun 2024 yang mengatur tarif PPN untuk transaksi aset kripto dan barang tertentu lainnya. 


Kini, tarif PPN untuk transaksi pembelian aset kripto melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang ditetapkan sebesar 0,12% (1% x 12%) dari nilai transaksi. 


Sementara itu, transaksi lainnya, seperti biaya deposit, biaya penarikan rupiah, dan biaya trading, dikenakan tarif PPN efektif sebesar 11%, sesuai dengan PMK Nomor 131 Tahun 2024 Pasal 3. 


Penting untuk dicatat, PPN ini dikenakan atas biaya transaksi tersebut, bukan atas jumlah uang yang didepositkan atau ditarik. Ketentuan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan perlakuan pajak khusus terhadap aset kripto, mengingat sifatnya yang unik dan berbeda dengan barang atau jasa konvensional.


CEO Indodax Oscar Darmawan, menyatakan, sebagai pelaku industri memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan yang berlaku dengan berkonsultasi secara intensif bersama otoritas terkait, termasuk kantor pajak. Penyesuaian tarif PPN ini adalah langkah penting dalam mendukung transparansi perpajakan di Indonesia sekaligus memastikan keamanan dan kenyamanan transaksi bagi pengguna.


Dia juga menekankan pentingnya regulasi yang jelas untuk mendorong kepercayaan di sektor aset kripto. 


“Kami memahami bahwa interpretasi terhadap peraturan perpajakan sering kali menghadirkan tantangan. Namun, melalui kerja sama dengan otoritas terkait, kami yakin langkah ini akan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekosistem kripto di Indonesia,” tambahnya.

Tingkatkan Tax Ratio Sesaat


Deputi Direktur Center For Indonesia Taxxation Analysis (CITA) Ruben Hutabarat mengungkapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang berlaku pada tahun 2025 hanya meningkatkan tax ratio sesaat.

Menurutnya, hal tersebut telah tergambar dari kenaikan tarif PPN dari 10% pada tahun 2021 menjadi 11% pada tahun 2022 yang lalu. Kenaikan tarif pajak pada tahun 2022 itu memang membuat tax ratio negara meningkat dari sebelumnya 9,11% menjadi 10,38%.

"Kalau melihat berkaca tahun 2023 terjadi kenaikan menjadi 11%, memang terjadi kenaikan tax ratio yang cukup signifikan, dari yang awalnya di bawah 10% atau 9,11% menjadi 10,38%," ujar Ruben dalam Market Review IDXChannel.
Namun demikian, Ruben menyebut kenaikan tax ratio itu tidak berlangsung lama untuk kemudian mengalami penurunan. Misalnya tax ratio yang awalnya naik 10,38% kemudian turun menjadi 10,31% pada tahun 2023 dan terakhir turun menjadi 10,12% pada tahun 2024.

"Setelah terjadi kenaikan tarif PPN, kembali mengalami penurunan dari 10,38% melandai ke 10,31%, dan 10,12%, mungkin ini yang menjadi kekhawatiran pemerintah juga, melihat terjadinya tren penurunan tax ratio," tambahnya.

Sehingga menurut Ruben peningkatan tarif pajak bukan menjadi satu - satunya solusi untuk meningkatkan tax ratio. Sebab jika berkaca pada kenaikan tarif sebelumnya, kenaikan tarif pajak juga bakal membuat tax ratio menurun.

Bahkan angka tax ratio 4 tahun kebelakang ini tidak sejalan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang ditetapkan sebesar 11,8 - 12,8% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

"Upaya meningkatkan tax ratio seharusnya tidak semata-mata dengan menaikkan tarif, walaupun menaikkan tarif cara paling mudah memang meningkatkan tax ratio. Seharusnya Pemerintah bisa menggunakan strategi lain," pungkasnya.

(Taufik Fajar)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya