Ekonomi Lesu, China Gelontorkan Ratusan Triliun Rupiah agar Warganya Lebih Sering Belanja

Dani Jumadil Akhir, Jurnalis
Senin 24 Maret 2025 10:33 WIB
Ekonomi Lesu, China Gelontorkan Ratusan Triliun Rupiah agar Warganya Lebih Sering Belanja (Foto: Reuters)
Share :

1. Upaya Serius China dalam Meningkatkan Pengeluaran

Pekan lalu, Beijing mengakhiri Kongres Rakyat Nasional tahunannya dengan meningkatkan investasi dalam program kesejahteraan sosial sebagai bagian dari rencana ekonomi besar mereka pada 2025.

Langkah ini diambil China untuk mengatasi perekonomian yang lesu dan permintaan domestik yang lemah. Kemudian pada minggu ini Beijing mengumumkan janji-janji yang lebih besar seperti dukungan lapangan kerja meski detailnya masih minim.

Sejumlah pihak menyambut langkah ini, dengan catatan bahwa para pemimpin China perlu berbuat lebih banyak untuk meningkatkan dukungan ekonomi.

Di sisi lain, upaya ini menandakan kesadaran Beijing akan perubahan yang diperlukan untuk pasar konsumen China yang lebih kuat.

Perubahan itu mencakup upah yang lebih tinggi, jaring pengaman sosial yang lebih kuat, dan kebijakan yang membuat orang merasa cukup aman untuk berbelanja daripada menabung.

Seperempat dari tenaga kerja China terdiri dari pekerja migran berupah rendah yang akses ke manfaat sosial perkotaannya terbatas. Hal ini membuat mereka sangat rentan selama periode ketidakpastian ekonomi, seperti pandemi Covid-19.

Kenaikan upah selama tahun 2010an menutupi sejumlah masalah ini. Pertumbuhan pendapatan rata-rata pada dekade itu mencapai sekitar 10% per tahun.

Namun, seiring melambatnya pertumbuhan upah pada 2020-an, orang-orang kembali bergantung pada tabungan. Pemerintah China dinilai lamban dalam memperluas manfaat sosial. Negara itu lebih fokus pada peningkatan konsumsi melalui langkah-langkah jangka pendek, seperti program tukar tambah untuk peralatan rumah tangga dan elektronik.

Gerard DiPippo, peneliti senior di lembaga kajian Rand mengatakan solusi jangka pendek itu belum mengatasi masalah mendasar. "Pendapatan rumah tangga lebih rendah dan tabungan lebih tinggi," ujarnya.

Hampir runtuhnya pasar properti juga membuat konsumen China lebih berhati-hati dalam menghadapi risiko sehingga mengurangi pengeluaran. "Pasar properti penting tidak hanya untuk aktivitas ekonomi riil, tetapi juga untuk sentimen rumah tangga. Rumah tangga China telah menginvestasikan begitu banyak kekayaan mereka di rumah mereka," ujara DiPippo.

"Saya rasa konsumsi China tidak akan sepenuhnya pulih sampai jelas bahwa sektor properti telah mencapai titik terendah dan oleh karena itu aset utama banyak rumah tangga mulai pulih."

Beberapa analis menyambut keseriusan Beijing dalam menargetkan tantangan jangka panjang seperti penurunan angka kelahiran mengingat makin banyak pasangan muda memilih untuk tidak menjadi orang tua dengan alasan ekonomi.

Sebuah studi yang dilakukan pada 2024 oleh lembaga kajian China, YuWa, memperkirakan bahwa membesarkan seorang anak hingga dewasa di China membutuhkan biaya 6,8 kali lipat PDB per kapita negara tersebut. Sebagai catatan, ini adalah salah satu yang tertinggi di dunia, dibandingkan dengan AS (4,1), Jepang (4,3), dan Jerman (3,6).

Tekanan keuangan ini hanya akan memperkuat budaya menabung yang sudah sangat mengakar di China. Meski ekonomi melambat, rumah tangga China dilaporkan berhasil menabung 32% dari pendapatan yang siap dibelanjakan pada 2024.

Hal ini tidak terlalu mengejutkan di China mengingat konsumsi domestik memang tidak pernah terlalu tinggi. Sebagai perbandingan, konsumsi domestik mendorong lebih dari 80% pertumbuhan di AS dan Inggris, dan sekitar 70% di India.

Pangsa China biasanya berkisar antara 50% hingga 55% selama dekade terakhir. Semua ini tidak pernah menjadi masalah serius bagi China. Tapi sekarang kondisinya berubah.

 

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya