Di sisi lain, Sunarsip mengingatkan agar pasar bioetanol produk joint venture tersebut juga harus dikembangkan secara luas. Sebab, perusahaan tersebut bukan membuat mobil tetapi bahan bakar nabati yang bisa digunakan berbagai merek. Dalam hal ini, pasarnya tentu bukan hanya mobil-mobil produk Toyota saja, tetapi merek-merek lain.
”Produk bioetanol tersebut juga harus bisa diterima dan compatible dengan produk mobil merek-merek lain temasuk kemungkinan untuk diekspor. Kalau bioetanolnya bisa diserap 100 persen pasar dalam negeri, oke saja.Tetapi kalau tidak, berarti harus dipikirkan untuk ekspor,” lanjutnya.
Yang jelas, tegas Sunarsip, ke depan Pertamina tidak sendirian. Sejalan dengan kebijakan blending BBM minimal 10%, perusahaan SPBU swasta juga akan berlomba-lomba mengembangkan produk serupa.
Rencana kerja sama Pertamina-Toyota merupakan hasil kunjungan Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM Todotua Pasaribu ke Jepang.
Dalam kunjungan tersebut, Wamen bertemu Masahiko Fukushima, CEO of Asia Region, Toyota Motor Corporation. Rencana kerja sama juga dinilai sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong swasembada energi, ekonomi hijau, serta hilirisasi guna meningkatkan nilai tambah sumber daya alam dalam negeri.
(Dani Jumadil Akhir)