JAKARTA - Wakil Menteri Investasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu mengatakan saat ini produsen mobil asal Jepang Toyota, berencana untuk membangun pabrik Etanol di Lampung.
Dia menjelaskan hal ini dalam rangka mendukung penerapan bahan bakar berbasis etanol untuk kendaraan bermotor. Indonesia sendiri menargetkan campuran etanol 10 persen terhadap bahan bakar minyak alias E10 akan diterapkan pada tahun 2027 mendatang.
"Minggu lalu kami dibawa ke Jepang ketemu dengan Group Toyota, dan teknologi mereka ini sudah masuk second generation. Mereka akan masuk untuk etanol. Mungkin start awal plan -nya di Lampung," ujarnya dalam acara Antara Business Forum di Jakarta, Rabu (19/11/2025).
Lebih jauh, Todotua mengatakan untuk menerapkan mandatori E10 dibutuhkan setidaknya 4 juta ton per tahun. Sehingga diperlukan pabrikan etanol yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan agar tidak menjadi ladang impor baru.
"Pada saat kita masuk dalam program E10, maka kita butuh etanol sekitar 4 juta per tahun. Sumbernya disini banyak, ada tebu, singkong, sorgum, kemudian juga ada aren, dan lain-lain," sambungnya.
Sebelumnya dalam rangkaian kunjungan kerja ke Jepang, Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM Todotua Pasaribu, melakukan pertemuan dengan Masahiko Maeda, CEO of Asia Region, Toyota Motor Corporation serta mengunjungi fasilitas riset di Fukushima milik Research Association of Biomass Innovation for Next Generation Automobile Fuels (RABIT), Asosiasi riset yang dibentuk oleh beberapa perusahaan otomotif dan energi Jepang, untuk meneliti teknologi bahan bakar termasuk bioethanol.
Wamen Todotua menyampaikan apresiasi atas komitmen Toyota dalam mendukung program Pemerintah di bidang energy security dan transisi energi hijau.
"Sebagai bagian dari strategi menekan impor BBM yang masih tinggi, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan mandatory blending bioetanol dalam bensin sebesar 10% (E10) yang akan mulai diterapkan pada tahun 2027, kami melihat potensi besar kerja sama dengan Toyota untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi bioetanol di kawasan," ujar Todotua dalam keterangan resmi (7/11).
Dalam kolaborasi risetnya di Jepang melalui RABIT (Research Association of Biomass Innovation), Toyota tengah mengembangkan bioetanol generasi kedua yang bersumber dari biomassa non-pangan, seperti limbah pertanian dan tanaman sorgum. Teknologi ini dinilai sangat relevan dengan potensi agrikultur Indonesia yang melimpah dan kondisi agroklimat yang cocok untuk budidaya secara berkelanjutan.
"Kemarin saat kunjungan kami juga telah berdiskusi dengan RABIT, bahwa teknologi pabrik bioetanol generasi kedua ini dapat memanfaatkan berbagai macam limbah pertanian (multi feedstock), sehingga teknologinya cocok dengan Indonesia yang tidak hanya memiliki potensi tanaman sorgum, tetapi bisa juga dari tebu, padi, singkong, kelapa sawit, aren dan lain-lain," tutur Todotua.
Berdasarkan Roadmap Hilirisasi Investasi Strategis yang dimiliki Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, sejumlah wilayah seperti Lampung telah disiapkan untuk menjadi sentra pengembangan industri bioetanol, dengan dukungan bahan baku dari tebu, singkong, dan sorgum. Investasi di sektor ini diproyeksikan tidak hanya memperkuat rantai pasok energi bersih, tetapi juga membuka lapangan kerja baru dan mendorong kesejahteraan petani lokal di daerah.
"Sebagai pioneer project, tadi sudah didiskusikan akan bekerjasama dengan Pertamina NRE (New Renewable Energy) di Lampung, untuk bahan bakunya juga tidak hanya dari perusahaan tapi juga melibatkan petani dan koperasi tani setempat sehingga juga dapat menggerakan perekonomian di daerah, nantinya untuk suplai energi juga diintegrasikan dengan plant geothermal dan hidrogen milik Pertamina," jelas Todotua.
Dalam kesempatan yang sama, Toyota, melalui PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) menyampaikan minat untuk berinvestasi dalam pengembangan industri bioetanol di Indonesia. Langkah ini merupakan bagian dari strategi global Toyota untuk mengamankan pasokan bahan bakar bagi kendaraan flex-fuel berbasis bioethanol, sekaligus mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia dalam mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil impor.
(Taufik Fajar)