JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik Subhan Syarief menilai kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di sejumlah daerah, bukan semata soal keterlambatan suplai atau peningkatan konsumsi.
“Jika ditinjau dari perspektif tata kelola migas, pola kelangkaan yang terjadi serentak, disertai antrean panjang dan disparitas stok antar wilayah, mengindikasikan adanya market disruption anomaly, situasi ketika distribusi tidak sepenuhnya dikendalikan oleh negara, tetapi terpengaruh oleh kepentingan kelompok tertentu,” kata Subhan di Jakarta, Jumat (21/11/2025).
Dia mengungkapkan masih ada ruang bagi mafia migas bermain dan melakukan penyimpangan masih sangat terbuka, terutama dalam fase distribusi. Di fase tersebut, para mafia memiliki kendali atas kepemilikan armada tanker, depo, hingga SPBU dan sistem kuota.
“Pola penyimpangan seperti penimbunan, switching, dan pengalihan alokasi bukan terjadi secara insidental, melainkan menunjukkan karakter coordinated supply manipulation. Di sinilah mafia migas bekerja bukan sebagai pelaku ilegal di pinggir sistem, tetapi sebagai aktor ekonomi yang memanfaatkan celah tata kelola dan regulasi,” ungkap Subhan.
Tidak menutup kemungkinan adanya kasus kelangkaan BBM ini di sejumlah daerah ini merupakan serangan balik dari para mafia migas ke pemerintah. Terlebih, kata dia, pemerintah sudah menyentuh kepentingan besar seperti menetapkan pemain besar seperti Riza Chalid sebagai tersangka dan Daftar Pencarian Orang (DPO).
“Jaringan ini memiliki akses logistik, finansial, dan bahkan kedekatan politik yang kuat dengan para penguasa; sehingga mampu menekan pemerintah melalui kelangkaan atau kegaduhan distribusi. Pertamina pun menjadi sasaran strategis karena merupakan wajah negara dalam pengelolaan energi,” ujarnya.